Judul asli: Xiaoao Jianghu
Karya : Jin Yong (Chin Yung)
Lin Zhennan berjalan ke depan sampai di aula gedung, di mana para pegawai telah berkumpul menunggu perintahnya. Segera ia memerintahkan mereka untuk menyebar menyelidiki kemungkinan adanya wajah-wajah asing mencurigakan yang berkeliaran di dalam kota, serta menambah jumlah para penjaga untuk meronda di sekitar gedung. Rupanya para pegawai ini merasa dipermalukan, karena kedua tiang bendera telah dirobohkan musuh sementara mereka tidak mengetahui sama sekali. Dengan perasaan gusar, mereka telah berseragam lengkap dan mempersiapkan senjata masing-masing. Perintah yang telah disampaikan sang ketua segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Lin Zhennan terharu menyaksikan semangat persatuan para pegawainya yang merasa ikut memiliki Biro Ekspedisi Fuwei itu. Setelah mendengar sumpah mereka yang siap bekerja dan berkorban demi kehormatan perusahaan, ia lantas masuk kembali menemui istri dan putranya di ruang tengah.
“Ping’er, kesehatan ibumu selama beberapa hari ini agak menurun,” ujarnya kepada Lin Pingzhi. “Setiap saat musuh bisa datang menyerang. Bagaimana kalau kau tidur di depan pintu kamar sekaligus menjaga ibumu?”
Mendengar ini Nyonya Wang langsung menyela, “Aku tidak perlu...” namun ia langsung paham akan maksud sesungguhnya dari ucapan sang suami. Sebenarnya Lin Zhennan bukan meminta agar Lin Pingzhi melindungi ibunya, melainkan supaya putranya itu dekat dengan sang ibu dan ini akan membuatnya lebih aman. Mereka sadar Lin Pingzhi bersifat angkuh dan sudah pasti merasa direndahkan jika secara terang-terangan ia disuruh berlindung kepada sang ibu demi keselamatan dirinya.
Tentu putranya itu akan tersinggung dan memilih keluar rumah menantang musuh. Jelas ini sangat berbahaya. Menyadari maksud sang suami, Nyonya Wang pun menahan kata-katanya.
“Benar, Ping’er. Ibu sedang tidak enak badan. Ayahmu biar memimpin para pegawai, sementara kau menjaga di luar kamar Ibu. Bagaimana kalau musuh sampai datang dan menyusup kemari? Tentu Ibu sangat membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu kemudian.
“Sudah pasti aku akan menemani Ibu di sini,” jawab Lin Pingzhi tanpa ragu.
Malam itu Lin Pingzhi pun tidur di atas ranjang yang telah diletakkan di luar kamar orang tuanya. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka agar Nyonya Wang bisa melihat keadaan putranya setiap saat. Lin Zhennan sendiri berjaga di luar bersama para pegawai.
Sampai cukup lama mereka tidak menemukan tanda-tanda musuh kembali menyerang. Merasa keadaan sudah lebih aman, Lin Zhennan pun masuk ke dalam kamar dan tidur di samping sang istri. Meskipun demikian, pedangnya tetap dipersiapkan di samping bantal.
Begitu matahari terbit tiba-tiba terdengar suara seorang pegawai memanggil-manggil dari luar jendela dengan suara lirih, “Tuan Muda! Tuan Muda!”
Lin Pingzhi yang semalaman tidak bisa tidur, pagi itu masih pulas karena baru bisa memejamkan mata saat fajar menyingsing. Bukan ia yang terbangun oleh panggilan itu melainkan Lin Zhennan yang segera bangkit dan bertanya, “Ada masalah apa?”
“Kuda putih milik Tuan Muda... kuda itu sudah... sudah mati,” jawab pegawai itu dari luar. Kalau yang mati kuda lainnya tentu tidak menjadi persoalan. Namun karena yang mati adalah kuda putih kesayangan Lin Pingzhi, buru-buru ia melapor kepada sang majikan muda.
Mendengar suara ribut-ribut, Lin Pingzhi terbangun pula dari tidurnya dan berkata, “Akan kulihat ke sana.”
Lin Zhennan berpikir kematian kuda putih ini tentu ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Ia pun bergegas menuju ke kandang bersama Lin Pingzhi. Sesampainya di sana mereka menyaksikan si kuda putih sudah tergeletak tanpa nyawa. Sebagaimana kasus kematian yang terjadi sebelumnya, kali ini juga tidak ditemukan bekas luka apa pun pada tubuh hewan tersebut.
“Apakah semalam terdengar suara ringkikan kuda atau keributan lain yang mencurigakan?” tanya Lin Zhennan.
“Tidak, Tuan! Tidak ada sama sekali,” jawab si tukang kuda.
Lin Zhennan memegangi tangan Lin Pingzhi yang meraba-raba bangkai kuda kesayangannya itu. “Sudahlah, Nak! Ayah akan membelikan kuda baru yang lebih bagus untukmu,” ujarnya menghibur.
Lin Pingzhi hanya diam termangu sambil meneteskan air mata.
Tiba-tiba seorang pegawai yang tidak lain adalah Chen Qi datang dengan napas terengah-engah. Ia berkata dengan suara gemetar, “Ketua, ini celaka! Sungguh celaka! Para pengawal kita telah... telah terbunuh semua! Mereka mati dibunuh hantu gentayangan itu..!”
“Apa katamu? Mati semua?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi bersamaan.
“Benar, mati semua!” jawab Chen Qi tegang.
“Siapa saja yang mati?” sahut Lin Pingzhi gusar. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kerah baju Chen Qi dan menariknya ke depan.
“Tuan Muda... Tuan Muda... mati,” jawab Chen Qi ketakutan.
Lin Zhennan sangat gusar mendengar jawaban ini. Dalam dunia persilatan, seseorang yang masih hidup dikatakan mati adalah suatu pantangan besar karena dianggap dapat memendekkan umur orang itu. Namun karena Chen Qi mengucapkannya tanpa sengaja, ia pun menahan amarahnya dan berusaha menenangkan pikiran.
Sejenak kemudian, kembali terdengar suara ribut-ribut di luar. “Di mana Ketua? Kami harus segera melapor,” seru seorang pegawai dari luar kandang. “Hantu gentayangan ini sangat ganas. Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku di sini!” jawab Lin Zhennan berteriak. “Ada apa lagi ini?”
Seorang pengawal dan tiga orang pengiring segera masuk ke dalam kandang. Pengawal itu berkata, “Ketua, para pengawal yang tadi malam meronda tidak ada yang kembali dengan selamat.”
Lin Zhennan terperanjat. Semula ia berpikir ada seorang pegawai lagi yang mati, namun ternyata yang menjadi korban adalah semua pegawainya yang berangkat meronda tadi malam. Padahal, ia ingat semalam telah mengirim dua puluh tiga orang pengawal untuk meronda di sekeliling kota.
“Apa kau yakin mereka mati semua?” sahutnya kemudian. “Mungkin saja mereka masih meronda dan belum kembali sampai siang ini.”
Pengawal itu menggeleng dan menjawab, “Tapi kami telah... telah menemukan tujuh belas sosok mayat....”
“Tujuh belas mayat?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi kembali bersama-sama. Perasaan ngeri tergambar jelas di raut wajah mereka.
“Benar, Ketua! Jumlahnya ada tujuh belas mayat. Di antaranya terdapat Pengawal Fu, Pengawal Qian, dan Pengawal Wu. Mayat-mayat tersebut telah kami tempatkan di ruang depan,” jawab si pengawal mempertegas laporannya.
Tanpa banyak bertanya lagi Lin Zhennan bergegas menuju ke ruang depan gedung perusahaannya. Tampak di ruangan itu terbaring tujuh belas sosok mayat pegawai Biro Fuwei dalam keadaan membujur kaku, sementara meja dan kursi telah disisihkan ke tepi merapat dinding.
Para pegawai yang meronda kembali tanpa nyawa.
Meskipun sudah kenyang pengalaman dan sering mengalami kesulitan dalam hidup, tetap saja perasaan Lin Zhennan tergetar dibuatnya. Tanpa disadari tangannya gemetar dan lututnya terasa lemas menyaksikan pemandangan tersebut.
“Kenapa... kenapa... kenapa?” ujarnya bertanya-tanya. Suaranya kering dan nyaris tak terdengar oleh yang lainnya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara ribut di luar, “Ya ampun! Pengawal Gao yang baik juga menjadi korban.”
Kali ini yang masuk adalah lima orang tetangga dengan menggotong selembar papan pintu di mana jasad Pengawal Gao terbaring di atasnya.
“Sewaktu membuka pintu tadi pagi, saya terkejut karena melihat mayat Tuan Gao sudah tergeletak di jalanan. Mungkin ia terkena penyakit menular atau diganggu makhluk halus. Saya pun meminta bantuan para tetangga yang lain untuk membawa jenazahnya kemari,” ujar salah seorang tetangga memberi penjelasan kepada Lin Zhennan.
“Terima kasih banyak!” jawab Lin Zhennan sambil memberi hormat. Kepada seorang pegawai ia memberi perintah, “Sampaikan kepada kasir untuk memberikan tiga tael perak, masing-masing kepada para tetangga yang baik ini; sebagai rasa terima kasih dariku.”
Namun para tetangga tidak tega menerima hadiah tersebut. Dengan wajah ngeri, mereka lekas-lekas mohon diri setelah menyaksikan belasan mayat memenuhi ruangan. Tidak lama kemudian datang lagi empat jenazah, sehingga hanya tinggal seorang saja yang belum ditemukan.
Pegawai yang seorang lagi itu adalah Pengawal Zhu, dan mereka yakin tidak lama lagi mayatnya akan segera ditemukan.
Lin Zhennan masuk ke kamar dan meneguk secangkir teh hangat untuk menenangkan perasaan. Meskipun demikian, jantungnya masih juga berdebar-debar. Dengan perasaan gelisah ia berjalan ke halaman depan dan memandang ke sekeliling. Hatinya terguncang menyaksikan panji-panji kebesaran Biro Ekspedisi Fuwei yang selama ini berkibar dengan gagah, sekarang sudah tiada lagi. Musuh telah membunuh lebih dari dua puluh orang pegawainya namun tidak pernah menampakkan diri sama sekali.
Mereka juga tidak pernah mengumumkan latar belakang dan tujuan pembantaian ini.
Perlahan Lin Zhennan berpaling ke arah papan nama bertuliskan huruf emas yang terpasang di atas pintu gedung. Sambil menghela napas ia berpikir, “Puluhan tahun lamanya nama besar Biro Ekspedisi Fuwei berjaya di mana-mana. Apakah hari ini akan hancur di tanganku?”
Tiba-tiba terlihat seekor kuda muncul dari ujung jalan menuju ke arah gedung biro. Kuda itu berjalan pelan-pelan dengan mengangkut sesosok mayat yang tersampir di atas pelana. Lin Zhennan bergegas menghampirinya dan ternyata kuda itu mengangkut jasad Pengawal Zhu. Rupanya musuh telah membunuh pegawainya itu dan meletakkan mayatnya di atas punggung kuda. Kuda ini hafal jalan pulang sehingga akhirnya sampai di hadapan sang majikan.
Lin Zhennan menghela napas panjang dan meneteskan air mata membasahi mayat Pengawal Zhu. Seorang diri ia menggendong mayat pegawainya itu ke dalam gedung sambil berkata, “Adik Zhu, jika aku tidak bisa membalaskan kematianmu, biarlah aku mati penasaran. Namun sayangnya, kau kembali ke sini tanpa bisa menyebutkan siapa orangnya yang telah membunuhmu.”
Sebenarnya Pengawal Zhu hanyalah seorang pegawai biasa, dan juga tidak terlalu akrab dengan Lin Zhennan. Adapun sumpah dan air mata yang dikeluarkan itu jelas dikarenakan perasaan gusar dan putus asa yang sudah memenuhi rongga dadanya.
Lin Zhennan kemudian melihat istrinya berdiri di depan ruang aula sambil memegang sebilah golok emas di tangan kiri. “Dasar penjahat busuk, kau hanya berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi! Jika kau memang laki-laki, lekas keluar! Tunjukkan batang hidungmu! Apa kau lebih suka disebut sebagai pengecut, hah?” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk dengan tangan kanan.
Lin Zhennan bertanya, “Istriku, apa kau melihat sesuatu?”
Nyonya Wang menjawab, “Tidak. Kawanan bangsat itu tidak berani menampakkan diri karena takut terhadap Ilmu Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kita.” Sambil mengacungkan goloknya, wanita itu melanjutkan, “Dia juga takut terhadap golok emas di tanganku ini!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari salah satu sudut atap rumah. Disusul kemudian sebuah senjata rahasia melesat menyambar ke arah Nyonya Wang dan mengenai golok yang dipegangnya. Seketika golok emas pun terlepas dari pegangan sementara Nyonya Wang merasa tangannya tergetar kesakitan.
Golok emas tersebut terus melayang sampai jatuh di tengah halaman.
Tanpa pikir lagi, Lin Zhennan menerjang ke atas dan menusukkan pedangnya. Yang ia mainkan adalah jurus Menyapu Bersih Kaum Iblis, di mana ujung pedangnya terlihat bagaikan sari bunga bertebaran di udara.
Sudah beberapa hari Lin Zhennan menyimpan dendam terhadap musuh yang tidak terlihat itu. Kini begitu ada kesempatan, amarahnya langsung meledak dan ia pun menyerang dengan sekuat tenaga. Namun pedang di tangannya ternyata hanya mengenai tempat kosong, sementara musuh yang ia cari telah menghilang entah ke mana.
Nyonya Wang dan Lin Pingzhi ikut naik ke atap untuk membantu, namun mereka bertiga tidak menemukan apa-apa.
“Jahanam! Anak anjing! Kalau kau memang laki-laki lekas keluar dan bertarung denganku! Pengecut macam apa pula kau ini?” bentak Nyonya Wang. “ Ke mana bajingan itu pergi? Siapa dia sebenarnya?” ujarnya kemudian –bertanya kepada sang suami.
Lin Zhennan menggeleng dan menjawab, “Simpan tenagamu.”
Ketiganya terus mencari ke segenap penjuru atap gedung namun tidak menemukan siapa-siapa. Mereka lalu melompat turun dan mendarat di halaman depan.
Lin Zhennan lantas bertanya kepada sang istri, “Senjata rahasia macam apa yang telah menjatuhkan golokmu tadi?”
“Entahlah, aku tidak tahu. Benar-benar keparat!” jawab Nyonya Wang setengah memaki.
Mereka segera memeriksa di sekitar pelataran namun tidak menemukan suatu senjata rahasia apapun. Hanya saja di bawah salah satu pohon ditemukan pecahan batu bata yang sebagian telah lembut seperti pasir. Sepertinya si penyerang gelap memang menggunakan batu bata itu untuk menjatuhkan golok emas di tangan Nyonya Wang.
Lin Zhennan merasa kagum sekaligus ngeri membayangkan tenaga dalam si penyerang yang mampu menjatuhkan senjata istrinya hanya dengan sepotong batu bata kecil saja. Nyonya Wang sendiri yang sejak semula sibuk mencaci-maki kini terdiam tanpa suara. Perasaan gusar di hatinya telah berubah menjadi takut menyaksikan remukan batu bata tersebut. Tanpa bicara sedikit pun, wanita itu lalu masuk kembali ke dalam ruangan.
Setelah suami dan putranya ikut masuk, Nyonya Wang segera menutup pintu dan berkata, “Musuh terlalu kuat. Kita tidak bisa menandinginya. Apa... apa yang harus kita lakukan?”
Lin Zhennan menjawab, “Terpaksa kita harus meminta bantuan para sahabat. Sudah sewajarnya dalam hidup ini kita saling membantu dan meminta bantuan kepada pihak lain.”
“Kita memang memiliki banyak sahabat. Namun dari sekian banyak jumlah mereka, memangnya berapa orang yang berkepandaian di atas kita?” ujar Nyonya Wang. “Jika kita mendatangkan para sahabat yang berkepandaian biasa saja atau bahkan di bawah kita, tentu mereka tidak akan banyak membantu.”
“Pendapatmu memang tidak salah,” jawab Lin Zhennan. “Tapi dengan adanya banyak orang tentu akan menghasilkan banyak pikiran. Tiada salahnya kalau kita mendatangkan mereka untuk berunding bersama.”
“Benar juga! Kalau begitu, siapa saja yang menurutmu pantas untuk kita undang?” tanya sang istri.
“Kita bisa mengundang yang paling dekat dulu,” jawab Lin Zhennan. “Tentu saja kita datangkan para jago yang bergabung di cabang Hangzhou, Nanchang, dan Guangzhou. Kemudian kita undang pula para pendekar dari luar perusahaan yang berasal dari Fujian sini, serta tiga provinsi terdekat lainnya.”
Nyonya Wang mengerutkan kening dan bertanya, “Tapi apakah kau tidak takut, dengan mendatangkan sedemikian banyak bala bantuan justru akan menjatuhkan nama besar Biro Ekspedisi Fuwei?”
lanjut ke Bagian 6
Karya : Jin Yong (Chin Yung)
Lin Zhennan berjalan ke depan sampai di aula gedung, di mana para pegawai telah berkumpul menunggu perintahnya. Segera ia memerintahkan mereka untuk menyebar menyelidiki kemungkinan adanya wajah-wajah asing mencurigakan yang berkeliaran di dalam kota, serta menambah jumlah para penjaga untuk meronda di sekitar gedung. Rupanya para pegawai ini merasa dipermalukan, karena kedua tiang bendera telah dirobohkan musuh sementara mereka tidak mengetahui sama sekali. Dengan perasaan gusar, mereka telah berseragam lengkap dan mempersiapkan senjata masing-masing. Perintah yang telah disampaikan sang ketua segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Lin Zhennan terharu menyaksikan semangat persatuan para pegawainya yang merasa ikut memiliki Biro Ekspedisi Fuwei itu. Setelah mendengar sumpah mereka yang siap bekerja dan berkorban demi kehormatan perusahaan, ia lantas masuk kembali menemui istri dan putranya di ruang tengah.
“Ping’er, kesehatan ibumu selama beberapa hari ini agak menurun,” ujarnya kepada Lin Pingzhi. “Setiap saat musuh bisa datang menyerang. Bagaimana kalau kau tidur di depan pintu kamar sekaligus menjaga ibumu?”
Mendengar ini Nyonya Wang langsung menyela, “Aku tidak perlu...” namun ia langsung paham akan maksud sesungguhnya dari ucapan sang suami. Sebenarnya Lin Zhennan bukan meminta agar Lin Pingzhi melindungi ibunya, melainkan supaya putranya itu dekat dengan sang ibu dan ini akan membuatnya lebih aman. Mereka sadar Lin Pingzhi bersifat angkuh dan sudah pasti merasa direndahkan jika secara terang-terangan ia disuruh berlindung kepada sang ibu demi keselamatan dirinya.
Tentu putranya itu akan tersinggung dan memilih keluar rumah menantang musuh. Jelas ini sangat berbahaya. Menyadari maksud sang suami, Nyonya Wang pun menahan kata-katanya.
“Benar, Ping’er. Ibu sedang tidak enak badan. Ayahmu biar memimpin para pegawai, sementara kau menjaga di luar kamar Ibu. Bagaimana kalau musuh sampai datang dan menyusup kemari? Tentu Ibu sangat membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu kemudian.
“Sudah pasti aku akan menemani Ibu di sini,” jawab Lin Pingzhi tanpa ragu.
Malam itu Lin Pingzhi pun tidur di atas ranjang yang telah diletakkan di luar kamar orang tuanya. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka agar Nyonya Wang bisa melihat keadaan putranya setiap saat. Lin Zhennan sendiri berjaga di luar bersama para pegawai.
Sampai cukup lama mereka tidak menemukan tanda-tanda musuh kembali menyerang. Merasa keadaan sudah lebih aman, Lin Zhennan pun masuk ke dalam kamar dan tidur di samping sang istri. Meskipun demikian, pedangnya tetap dipersiapkan di samping bantal.
Begitu matahari terbit tiba-tiba terdengar suara seorang pegawai memanggil-manggil dari luar jendela dengan suara lirih, “Tuan Muda! Tuan Muda!”
Lin Pingzhi yang semalaman tidak bisa tidur, pagi itu masih pulas karena baru bisa memejamkan mata saat fajar menyingsing. Bukan ia yang terbangun oleh panggilan itu melainkan Lin Zhennan yang segera bangkit dan bertanya, “Ada masalah apa?”
“Kuda putih milik Tuan Muda... kuda itu sudah... sudah mati,” jawab pegawai itu dari luar. Kalau yang mati kuda lainnya tentu tidak menjadi persoalan. Namun karena yang mati adalah kuda putih kesayangan Lin Pingzhi, buru-buru ia melapor kepada sang majikan muda.
Mendengar suara ribut-ribut, Lin Pingzhi terbangun pula dari tidurnya dan berkata, “Akan kulihat ke sana.”
Lin Zhennan berpikir kematian kuda putih ini tentu ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Ia pun bergegas menuju ke kandang bersama Lin Pingzhi. Sesampainya di sana mereka menyaksikan si kuda putih sudah tergeletak tanpa nyawa. Sebagaimana kasus kematian yang terjadi sebelumnya, kali ini juga tidak ditemukan bekas luka apa pun pada tubuh hewan tersebut.
“Apakah semalam terdengar suara ringkikan kuda atau keributan lain yang mencurigakan?” tanya Lin Zhennan.
“Tidak, Tuan! Tidak ada sama sekali,” jawab si tukang kuda.
Lin Zhennan memegangi tangan Lin Pingzhi yang meraba-raba bangkai kuda kesayangannya itu. “Sudahlah, Nak! Ayah akan membelikan kuda baru yang lebih bagus untukmu,” ujarnya menghibur.
Lin Pingzhi hanya diam termangu sambil meneteskan air mata.
Tiba-tiba seorang pegawai yang tidak lain adalah Chen Qi datang dengan napas terengah-engah. Ia berkata dengan suara gemetar, “Ketua, ini celaka! Sungguh celaka! Para pengawal kita telah... telah terbunuh semua! Mereka mati dibunuh hantu gentayangan itu..!”
“Apa katamu? Mati semua?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi bersamaan.
“Benar, mati semua!” jawab Chen Qi tegang.
“Siapa saja yang mati?” sahut Lin Pingzhi gusar. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kerah baju Chen Qi dan menariknya ke depan.
“Tuan Muda... Tuan Muda... mati,” jawab Chen Qi ketakutan.
Lin Zhennan sangat gusar mendengar jawaban ini. Dalam dunia persilatan, seseorang yang masih hidup dikatakan mati adalah suatu pantangan besar karena dianggap dapat memendekkan umur orang itu. Namun karena Chen Qi mengucapkannya tanpa sengaja, ia pun menahan amarahnya dan berusaha menenangkan pikiran.
Sejenak kemudian, kembali terdengar suara ribut-ribut di luar. “Di mana Ketua? Kami harus segera melapor,” seru seorang pegawai dari luar kandang. “Hantu gentayangan ini sangat ganas. Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku di sini!” jawab Lin Zhennan berteriak. “Ada apa lagi ini?”
Seorang pengawal dan tiga orang pengiring segera masuk ke dalam kandang. Pengawal itu berkata, “Ketua, para pengawal yang tadi malam meronda tidak ada yang kembali dengan selamat.”
Lin Zhennan terperanjat. Semula ia berpikir ada seorang pegawai lagi yang mati, namun ternyata yang menjadi korban adalah semua pegawainya yang berangkat meronda tadi malam. Padahal, ia ingat semalam telah mengirim dua puluh tiga orang pengawal untuk meronda di sekeliling kota.
“Apa kau yakin mereka mati semua?” sahutnya kemudian. “Mungkin saja mereka masih meronda dan belum kembali sampai siang ini.”
Pengawal itu menggeleng dan menjawab, “Tapi kami telah... telah menemukan tujuh belas sosok mayat....”
“Tujuh belas mayat?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi kembali bersama-sama. Perasaan ngeri tergambar jelas di raut wajah mereka.
“Benar, Ketua! Jumlahnya ada tujuh belas mayat. Di antaranya terdapat Pengawal Fu, Pengawal Qian, dan Pengawal Wu. Mayat-mayat tersebut telah kami tempatkan di ruang depan,” jawab si pengawal mempertegas laporannya.
Tanpa banyak bertanya lagi Lin Zhennan bergegas menuju ke ruang depan gedung perusahaannya. Tampak di ruangan itu terbaring tujuh belas sosok mayat pegawai Biro Fuwei dalam keadaan membujur kaku, sementara meja dan kursi telah disisihkan ke tepi merapat dinding.
Para pegawai yang meronda kembali tanpa nyawa.
Meskipun sudah kenyang pengalaman dan sering mengalami kesulitan dalam hidup, tetap saja perasaan Lin Zhennan tergetar dibuatnya. Tanpa disadari tangannya gemetar dan lututnya terasa lemas menyaksikan pemandangan tersebut.
“Kenapa... kenapa... kenapa?” ujarnya bertanya-tanya. Suaranya kering dan nyaris tak terdengar oleh yang lainnya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara ribut di luar, “Ya ampun! Pengawal Gao yang baik juga menjadi korban.”
Kali ini yang masuk adalah lima orang tetangga dengan menggotong selembar papan pintu di mana jasad Pengawal Gao terbaring di atasnya.
“Sewaktu membuka pintu tadi pagi, saya terkejut karena melihat mayat Tuan Gao sudah tergeletak di jalanan. Mungkin ia terkena penyakit menular atau diganggu makhluk halus. Saya pun meminta bantuan para tetangga yang lain untuk membawa jenazahnya kemari,” ujar salah seorang tetangga memberi penjelasan kepada Lin Zhennan.
“Terima kasih banyak!” jawab Lin Zhennan sambil memberi hormat. Kepada seorang pegawai ia memberi perintah, “Sampaikan kepada kasir untuk memberikan tiga tael perak, masing-masing kepada para tetangga yang baik ini; sebagai rasa terima kasih dariku.”
Namun para tetangga tidak tega menerima hadiah tersebut. Dengan wajah ngeri, mereka lekas-lekas mohon diri setelah menyaksikan belasan mayat memenuhi ruangan. Tidak lama kemudian datang lagi empat jenazah, sehingga hanya tinggal seorang saja yang belum ditemukan.
Pegawai yang seorang lagi itu adalah Pengawal Zhu, dan mereka yakin tidak lama lagi mayatnya akan segera ditemukan.
Lin Zhennan masuk ke kamar dan meneguk secangkir teh hangat untuk menenangkan perasaan. Meskipun demikian, jantungnya masih juga berdebar-debar. Dengan perasaan gelisah ia berjalan ke halaman depan dan memandang ke sekeliling. Hatinya terguncang menyaksikan panji-panji kebesaran Biro Ekspedisi Fuwei yang selama ini berkibar dengan gagah, sekarang sudah tiada lagi. Musuh telah membunuh lebih dari dua puluh orang pegawainya namun tidak pernah menampakkan diri sama sekali.
Mereka juga tidak pernah mengumumkan latar belakang dan tujuan pembantaian ini.
Perlahan Lin Zhennan berpaling ke arah papan nama bertuliskan huruf emas yang terpasang di atas pintu gedung. Sambil menghela napas ia berpikir, “Puluhan tahun lamanya nama besar Biro Ekspedisi Fuwei berjaya di mana-mana. Apakah hari ini akan hancur di tanganku?”
Tiba-tiba terlihat seekor kuda muncul dari ujung jalan menuju ke arah gedung biro. Kuda itu berjalan pelan-pelan dengan mengangkut sesosok mayat yang tersampir di atas pelana. Lin Zhennan bergegas menghampirinya dan ternyata kuda itu mengangkut jasad Pengawal Zhu. Rupanya musuh telah membunuh pegawainya itu dan meletakkan mayatnya di atas punggung kuda. Kuda ini hafal jalan pulang sehingga akhirnya sampai di hadapan sang majikan.
Lin Zhennan menghela napas panjang dan meneteskan air mata membasahi mayat Pengawal Zhu. Seorang diri ia menggendong mayat pegawainya itu ke dalam gedung sambil berkata, “Adik Zhu, jika aku tidak bisa membalaskan kematianmu, biarlah aku mati penasaran. Namun sayangnya, kau kembali ke sini tanpa bisa menyebutkan siapa orangnya yang telah membunuhmu.”
Sebenarnya Pengawal Zhu hanyalah seorang pegawai biasa, dan juga tidak terlalu akrab dengan Lin Zhennan. Adapun sumpah dan air mata yang dikeluarkan itu jelas dikarenakan perasaan gusar dan putus asa yang sudah memenuhi rongga dadanya.
Lin Zhennan kemudian melihat istrinya berdiri di depan ruang aula sambil memegang sebilah golok emas di tangan kiri. “Dasar penjahat busuk, kau hanya berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi! Jika kau memang laki-laki, lekas keluar! Tunjukkan batang hidungmu! Apa kau lebih suka disebut sebagai pengecut, hah?” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk dengan tangan kanan.
Lin Zhennan bertanya, “Istriku, apa kau melihat sesuatu?”
Nyonya Wang menjawab, “Tidak. Kawanan bangsat itu tidak berani menampakkan diri karena takut terhadap Ilmu Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kita.” Sambil mengacungkan goloknya, wanita itu melanjutkan, “Dia juga takut terhadap golok emas di tanganku ini!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari salah satu sudut atap rumah. Disusul kemudian sebuah senjata rahasia melesat menyambar ke arah Nyonya Wang dan mengenai golok yang dipegangnya. Seketika golok emas pun terlepas dari pegangan sementara Nyonya Wang merasa tangannya tergetar kesakitan.
Golok emas tersebut terus melayang sampai jatuh di tengah halaman.
Tanpa pikir lagi, Lin Zhennan menerjang ke atas dan menusukkan pedangnya. Yang ia mainkan adalah jurus Menyapu Bersih Kaum Iblis, di mana ujung pedangnya terlihat bagaikan sari bunga bertebaran di udara.
Sudah beberapa hari Lin Zhennan menyimpan dendam terhadap musuh yang tidak terlihat itu. Kini begitu ada kesempatan, amarahnya langsung meledak dan ia pun menyerang dengan sekuat tenaga. Namun pedang di tangannya ternyata hanya mengenai tempat kosong, sementara musuh yang ia cari telah menghilang entah ke mana.
Nyonya Wang dan Lin Pingzhi ikut naik ke atap untuk membantu, namun mereka bertiga tidak menemukan apa-apa.
“Jahanam! Anak anjing! Kalau kau memang laki-laki lekas keluar dan bertarung denganku! Pengecut macam apa pula kau ini?” bentak Nyonya Wang. “ Ke mana bajingan itu pergi? Siapa dia sebenarnya?” ujarnya kemudian –bertanya kepada sang suami.
Lin Zhennan menggeleng dan menjawab, “Simpan tenagamu.”
Ketiganya terus mencari ke segenap penjuru atap gedung namun tidak menemukan siapa-siapa. Mereka lalu melompat turun dan mendarat di halaman depan.
Lin Zhennan lantas bertanya kepada sang istri, “Senjata rahasia macam apa yang telah menjatuhkan golokmu tadi?”
“Entahlah, aku tidak tahu. Benar-benar keparat!” jawab Nyonya Wang setengah memaki.
Mereka segera memeriksa di sekitar pelataran namun tidak menemukan suatu senjata rahasia apapun. Hanya saja di bawah salah satu pohon ditemukan pecahan batu bata yang sebagian telah lembut seperti pasir. Sepertinya si penyerang gelap memang menggunakan batu bata itu untuk menjatuhkan golok emas di tangan Nyonya Wang.
Lin Zhennan merasa kagum sekaligus ngeri membayangkan tenaga dalam si penyerang yang mampu menjatuhkan senjata istrinya hanya dengan sepotong batu bata kecil saja. Nyonya Wang sendiri yang sejak semula sibuk mencaci-maki kini terdiam tanpa suara. Perasaan gusar di hatinya telah berubah menjadi takut menyaksikan remukan batu bata tersebut. Tanpa bicara sedikit pun, wanita itu lalu masuk kembali ke dalam ruangan.
Setelah suami dan putranya ikut masuk, Nyonya Wang segera menutup pintu dan berkata, “Musuh terlalu kuat. Kita tidak bisa menandinginya. Apa... apa yang harus kita lakukan?”
Lin Zhennan menjawab, “Terpaksa kita harus meminta bantuan para sahabat. Sudah sewajarnya dalam hidup ini kita saling membantu dan meminta bantuan kepada pihak lain.”
“Kita memang memiliki banyak sahabat. Namun dari sekian banyak jumlah mereka, memangnya berapa orang yang berkepandaian di atas kita?” ujar Nyonya Wang. “Jika kita mendatangkan para sahabat yang berkepandaian biasa saja atau bahkan di bawah kita, tentu mereka tidak akan banyak membantu.”
“Pendapatmu memang tidak salah,” jawab Lin Zhennan. “Tapi dengan adanya banyak orang tentu akan menghasilkan banyak pikiran. Tiada salahnya kalau kita mendatangkan mereka untuk berunding bersama.”
“Benar juga! Kalau begitu, siapa saja yang menurutmu pantas untuk kita undang?” tanya sang istri.
“Kita bisa mengundang yang paling dekat dulu,” jawab Lin Zhennan. “Tentu saja kita datangkan para jago yang bergabung di cabang Hangzhou, Nanchang, dan Guangzhou. Kemudian kita undang pula para pendekar dari luar perusahaan yang berasal dari Fujian sini, serta tiga provinsi terdekat lainnya.”
Nyonya Wang mengerutkan kening dan bertanya, “Tapi apakah kau tidak takut, dengan mendatangkan sedemikian banyak bala bantuan justru akan menjatuhkan nama besar Biro Ekspedisi Fuwei?”
lanjut ke Bagian 6