Bagian 4 - Pembunuhan Tanpa Luka

Pengawal Cui memandang ke arah Lin Zhennan seolah meminta izin untuk mendobrak. Setelah Lin Zhennan mengangguk, kedua tangan Pengawal Cui langsung menghantam ke depan sehingga palang pintu kedai patah seketika. Daun pintu itu terdorong ke dalam lalu kembali ke depan beberapa kali. Engsel yang telah berkarat mengeluarkan suara keriat-keriut menambah seram suasana.

Begitu pintu terbuka, Pengawal Cui segera menarik badan Lin Pingzhi ke samping. Setelah yakin tidak ada bahaya mengancam dari dalam, barulah mereka melangkah masuk. Sebuah pelita yang berada di atas meja langsung dinyalakan sebagai penerang selain lampu kerudung yang mereka bawa. Kelima orang itu memeriksa bagian dalam dan luar kedai dengan seksama, namun tidak seorang pun tampak terlihat. Segala perabotan di dalam kedai ternyata masih lengkap, tidak satu pun yang dibawa pergi.

“Sepertinya kakek itu khawatir tersangkut masalah ini. Apalagi mayat tersebut dikubur di dalam kebun sayurnya. Rasanya tidak aneh kalau dia menyingkir pergi,” kata Lin Zhennan sambil mengangguk. Ia kemudian berjalan menuju kebun sayur dan berkata, “Chen Qi, gali kebun ini dan keluarkan mayatnya!”

Sejak awal Chen Qi sangat yakin bahwa dua kematian misterius di dalam Biro Fuwei terjadi akibat ulah hantu penasaran orang Szechwan tersebut. Dengan sangat terpaksa ia mengangkat cangkul dan mulai menggali kebun tempat mayat orang itu dikubur. Akan tetapi, belum seberapa lama ia mencangkul, kaki dan tangannya sudah gemetar, dan akhirnya terkulai lemas tak bertenaga.

“Dasar tak berguna! Kau masih berani menyebut dirimu pengiring kereta, hah?” bentak Pengawal Ji. Segera ia merebut cangkul dan menyodorkan lampu kerudung di tangannya kepada Chen Qi. Sebentar saja ia mencangkul, baju jenazah samar-samar mulai terlihat. Tidak lama kemudian, setelah mengayunkan beberapa cangkulan lagi, mayat tersebut akhirnya terlihat seluruhnya. Dengan menggunakan gagang cangkul, Pengawal Ji mengangkat mayat itu ke atas.

Chen Qi buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain karena takut memandang mayat tersebut. Tiba-tiba ia mendengar suara keempat orang lainnya berteriak kaget. Karena semakin ketakutan, ia pun menjatuhkan lampu kerudung di tangannya sehingga suasana di kebun sayur itu menjadi gelap gulita.

Terdengar suara Lin Pingzhi berkata dengan nada terputus-putus, “Yang dikubur di sini tadi jelas-jelas orang dari Szechwan itu. Mengapa… mengapa…”
“Nyalakan kembali lampunya!” seru Lin Zhennan.
Pengawal Cui memungut lampu kerudung di atas tanah tadi dan menyalakannya kembali. Lin Zhennan lantas berjongkok memeriksa mayat tersebut dengan teliti. Sejenak kemudian ia berkata, “Tidak terdapat luka sedikit pun. Kematiannya sama persis dengan yang lain.”
Chen Qi memberanikan diri memandang ke arah mayat. Seketika ia langsung menjerit kaget, “Pengawal Shi! Ini Pengawal Shi!”

Mayat Pengawal Shi ditemukan di kebun sayur.
Ternyata, mayat yang baru diangkat dari kuburan tersebut adalah Pengawal Shi, sementara mayat orang Szechwan bermarga Yu sudah menghilang entah ke mana.

“Ada yang tidak beres dengan kakek bermarga Sa itu,” ujar Lin Zhennan. Segera ia menyambar lampu kerudung dan kemudian berlari ke dalam kedai untuk memeriksa kembali. Dari guci arak di dapur sampai panci, mangkuk, piring, meja, dan kursi, semuanya tanpa kecuali dijungkirbalikkan untuk diperiksa dengan lebih cermat. Namun demikian, tetap saja tidak terdapat suatu petunjuk yang mencurigakan.

Lin Pingzhi dan yang lain ikut masuk ke dalam kedai dan memeriksa pula. Tiba-tiba pemuda itu berteriak, “Ayah, coba ke sini dan lihat ini!”
Lin Zhennan bergegas menuju ke arah putranya bersuara. Ternyata Lin Pingzhi menemukan sesuatu di dalam kamar tidur Wan’er, cucu Kakek Sa. Pemuda itu tampak memegang sehelai saputangan berwarna hijau. “Ayah, seorang gadis dari keluarga miskin mana mungkin bisa memiliki saputangan seperti ini?” ujarnya.

Lin Zhennan mengambil saputangan itu. Samar-samar tercium olehnya bau harum yang menarik perhatian. Saputangan ini sangat halus dan terasa agak mantap, jelas terbuat dari bahan sutra pilihan. Ketika diperiksa lebih lanjut, tampak di tepi benda itu terdapat lingkaran berupa tiga garis benang berwarna hijau. Salah satu ujungnya bersulamkan setangkai bunga mawar berwarna merah, sepertinya dikerjakan dengan sangat teliti dan indah sekali.
“Dari mana kau peroleh saputangan ini?” tanya Lin Zhennan.

“Kutemukan di sudut kolong ranjang,” jawab Lin Pingzhi. “Mungkin mereka pergi dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat melihat saputangan ini jatuh sewaktu berbenah.”
Dengan menggunakan lampu kerudung, Lin Zhennan berjongkok memeriksa kolong ranjang namun tidak menemukan apa-apa lagi. Setelah merenung sejenak ia lalu berkata, “Kau bilang nona penjual arak itu mukanya sangat jelek. Aku berpikir pakaiannya pasti tidak terlalu bagus. Namun, apakah penampilannya sangat bersih dan teliti?”

“Waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan dia, tapi rasanya memang tidak terlalu buruk dan dekil,” jawab Lin Pingzhi. “Kalau pakaiannya kotor, tentu aku dapat merasakannya sewaktu dia membawakan arak untukku.”

“Bagaimana pendapatmu, Adik Cui?” sahut Lin Zhennan sambil berpaling kepada Pengawal Cui.
“Saya rasa kematian Pengawal Shi dan Pengawal Zheng tentu ada sangkut-pautnya dengan kakek dan cucu ini. Bahkan kemungkinan besar, mereka adalah para penjahat yang sedang menyamar,” jawab Pengawal Cui.

“Kedua orang Szechwan itu bisa jadi adalah komplotan mereka,” ujar Pengawal Ji menambahkan. “Kalau tidak, untuk apa mereka menukar mayat di kebun sayur?”
“Tapi orang bermarga Yu jelas-jelas berbuat kasar dan menggoda nona itu. Kalau tidak, mana mungkin aku berkelahi dengannya?” sahut Lin Pingzhi. “Rasanya tidak mungkin mereka ini satu komplotan.”
“Dalam hal ini Tuan Muda masih kurang berpengalaman,” ujar Pengawal Cui. “Kita ini hidup di dunia persilatan dan sudah biasa menemui orang-orang yang bersikap palsu dan jahat. Mereka sering memasang perangkap untuk menjerat lawannya. Misalnya, dua orang pura-pura berkelahi supaya muncul pihak ketiga melerai mereka. Begitu ini terjadi, mendadak dua orang yang berkelahi tadi berbalik mengeroyok orang ketiga tersebut.”

Pengawal Ji bertanya dengan suara lirih, “Bagaimana pendapat Ketua tentang masalah ini?”
“Sasaran yang dituju si kakek dan gadis penjual arak ini sudah pasti diri kita,” jawab Lin Zhennan. “Hanya saja, aku belum yakin apakah mereka berdua benar-benar komplotan orang-orang Szechwan itu atau bukan.”

Menyadari sesuatu, tiba-tiba Lin Pingzhi menyahut, “Ayah berkata bahwa Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin telah mengirim empat muridnya berkunjung kemari. Bukankah jumlah mereka… jumlah mereka sudah lengkap empat orang?”

Kata-kata ini menghantam perasaan Lin Zhennan bagaikan palu godam. Beberapa saat ia terkesima dan merenung, kemudian berkata lirih, “Selamanya Biro Ekspedisi Fuwei selalu menghormati Perguruan Qingcheng dan belum pernah berbuat sesuatu yang tidak baik terhadap mereka. Lalu, untuk apa Pendeta Yu mengirim orang-orangnya ke sini mengganggu kita? Untuk apa?”

Kelima orang itu hanya saling pandang dengan perasaan bingung tanpa bersuara sedikit pun. Setelah agak lama, barulah Lin Zhennan kembali berkata, “Marilah kita pindahkan dulu jenazah Pengawal Shi ke dalam rumah. Tentang peristiwa ini hendaknya jangan sampai tersiar supaya tidak diketahui oleh pihak yang berwajib. Aku tidak ingin menimbulkan masalah yang lainnya lagi.” Setelah diam sejenak ia melanjutkan, “Keluarga Lin selalu menghormati orang lain. Namun, kami juga bukan pengecut yang menerima begitu saja jika dihina.”

Pengawal Ji berkata dengan nada tegas, “Ketua, pepatah mengatakan: ‘para prajurit diberi makan selama setahun untuk menghadapi satu pertempuran.’ Sudah cukup banyak kami menerima budi baik Ketua. Kami semua siap mengangkat senjata demi membela nama baik Biro Fuwei.”
“Terima kasih banyak atas kesetiaan kalian,” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. Ia lantas mengajak rombongannya itu kembali ke dalam kota.

Sesampainya di kantor pusat, tampak para pegawai berkumpul di depan pintu utama. Puluhan obor yang mereka pegang membuat suasana malam itu terang benderang bagaikan siang. Lin Zhennan sendiri berdebar-debar menyaksikan pemandangan ini.

“Ketua sudah pulang! Ketua sudah pulang!” seru orang-orang itu bersama-sama.
Istri Lin Zhennan menyambut dengan wajah kesal. “Suamiku, coba kau lihat itu! Sungguh berani mereka menghina kita!”

Meskipun sudah menikah dengan Lin Zhennan, namun perempuan ini lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang”, sesuai marga aslinya. Begitu melihat sang suami datang, Nyonya Wang langsung bercerita sambil menunjuk potongan dua batang tiang bendera yang saling melintang di atas tanah. Keduanya tidak lain adalah tiang panji-panji Biro Ekspedisi Fuwei yang selama ini berdiri gagah di depan pintu utama gedung kantor pusat. Ditinjau dari bekas patahannya yang halus, jelas tiang-tiang tersebut dipotong menggunakan golok yang sangat tajam.

Nyonya Wang yang saat itu sedang tidak memegang senjata segera melolos pedang sang suami untuk memotong tali bendera dari tiangnya. Kemudian ia melipat panji-panji perusahaan Keluarga Lin tersebut dan membawanya masuk ke dalam gedung.

Lin Zhennan lantas berkata, “Adik Cui, lekas kau potong sisa tiang bendera yang masih tertinggal di altar batu itu. Huh, mereka pikir mudah menjatuhkan nama besar Biro Ekspedisi Fuwei?”
“Baik, Ketua,” sahut Pengawal Cui kemudian bergegas menjalankan perintah.
Terdengar Pengawal Ji memaki, “Bangsat keparat! Mereka adalah kaum pengecut rendah yang beraninya menyerang diam-diam saat Ketua sedang meninggalkan markas!”

Lin Zhennan mengajak Lin Pingzhi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Pengawal Ji yang masih memaki-maki di luar. Mereka melihat Nyonya Wang telah membentangkan kedua bendera tadi di atas dua buah meja. Ayah dan anak itu semakin kesal menyaksikan keadaan panji-panji tersebut. Tampak sulaman gambar singa jantan pada bendera yang satu telah kehilangan matanya, sementara bendera yang lainnya –yang bertuliskan Biro Ekspedisi Fuwei– telah kehilangan huruf “wei”.

Lin Zhennan seorang yang sangat sabar dan jarang sekali marah. Namun begitu melihat panji-panji kebesaran keluarganya dirusak orang, rasa gusarnya sulit terbendung lagi. Tangannya lantas menggebrak meja dengan keras, sampai-sampai salah satu kaki meja itu patah dibuatnya.
Lin Pingzhi ketakutan dan berkata dengan gemetar, “Ayah, ini semua... ini semua adalah kesalahanku. Akulah penyebab semua kekacauan ini.”

Lin Zhennan menjawab lantang, “Kita dari keluarga Lin membunuh orang secara kesatria! Kalau aku bertemu bajingan rendah seperti dia, sudah pasti aku juga akan membunuhnya!”
Nyonya Wang menyela, “Memangnya seperti apa orang yang kau bunuh?”

Lin Pingzhi pun menjawab pertanyaan ibunya dengan menceritakan semuanya, mulai dari kematian orang Szechwan bermarga Yu sampai dengan tewasnya Pengawal Shi. Nyonya Wang telah mengetahui kematian Pengawal Zheng dan Bai Er. Kematian Pengawal Shi bukannya membuat wanita ini takut, melainkan semakin gusar.

Sambil menggebrak meja, ia bangkit dan berkata, “Suamiku, mana mungkin kita biarkan Biro Ekspedisi Fuwei direndahkan orang seperti ini? Mari kita kumpulkan orang-orang dan bersama-sama kita berangkat ke Szechwan menuntut keadilan kepada Perguruan Qingcheng. Jika perlu, aku akan mengajak ayah dan kedua saudaraku sekalian.”

Sifat Nyonya Wang sejak kecil memang pemarah. Sewaktu masih gadis ia sudah terbiasa mencabut golok hanya karena masalah sepele. Ia sendiri berasal dari Keluarga Golok Emas Wang, yaitu sebuah keluarga terhormat dan sangat disegani di Kota Luoyang. Itulah sebabnya sampai sekarang ia lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang” daripada “Nyonya Lin”.

Meskipun ilmu silat Nyonya Wang tidak terlalu tinggi, namun orang-orang yang berselisih dengannya lebih memilih untuk mengalah, mengingat nama besar sang ayah, yaitu Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding. Sampai sekarang meskipun ia sudah bersuami dan putranya juga sudah tumbuh besar, namun sifat pemarah Nyonya Wang masih tetap tidak berubah.

Mendengar saran sang istri, Lin Zhennan menjawab, “Masalahnya kita belum tahu dengan pasti siapa yang menjadi musuh kita. Belum tentu pelakunya benar-benar dari Perguruan Qingcheng. Namun siapapun mereka, aku rasa mereka tidak akan berhenti sampai di sini hanya dengan membunuh dua pengawal dan merusak tiang bendera kita....”

“Memangnya mereka mau apa lagi?” sahut Nyonya Wang menukas.
Lin Zhennan diam tidak menjawab, melainkan hanya melirik ke arah Lin Pingzhi. Anehnya, Nyonya Wang langsung paham maksud suaminya. Mendadak wajahnya berubah pucat dan jantung pun berdebar-debar.

Lin Pingzhi yang tidak menyadari gelagat di antara kedua orang tuanya memberanikan diri untuk bicara, “Masalah ini disebabkan oleh kecerobohanku. Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Sedikit pun... sedikit pun aku tidak gentar.” Meskipun mengaku tidak gentar, tetap saja suaranya terdengar gemetar.

“Hm, kalau mereka berani menyentuh seujung rambutmu, maka mereka harus melangkahi mayat ibumu ini lebih dulu,” sahut Nyonya Wang. “Panji kebesaran perusahaan kita sudah berkibar selama tiga generasi. Belum pernah sekali pun kita tunduk dan menyerah kepada orang lain. Jika sakit hati ini tidak dibalas, rasanya tidak pantas lagi kita disebut sebagai manusia. Aku tidak sanggup lagi berdiri di depan cermin,” lanjut wanita itu sambil berpaling ke arah suaminya.

Lin Zhennan mengangguk dan menjawab, “Akan kukirim orang untuk menyelidiki apakah di dalam kota ditemukan wajah-wajah asing yang tidak dikenal. Juga akan kutambah jumlah penjaga di sekitar gedung kantor ini. Kalian berdua tunggu saja di dalam! Lebih-lebih, Ping’er tidak boleh sampai keluar sedikit pun.”

“Ya, aku mengerti!” jawab Nyonya Wang.
Kedua suami-istri ini yakin bahwa cepat atau lambat putra mereka pasti menjadi sasaran musuh. Mereka berada di tempat terang, sementara musuh berada di dalam gelap. Sedikit saja Lin Pingzhi melangkah keluar gedung, tentu bahaya akan langsung mengancamnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama