Api Di Bukit Manoreh (6)



Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin cepat karena kemarahan Alap-Alap Jalatunda. Di atas tanah yang becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahanpun memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang sedang bertempur.

Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua memanjat sampai ke puncak langit. Karena itu tiba-tiba iapun menjadi gelisah. “Hampir fajar” bisiknya dalam hati.

Sesaat kemudian menyambar anak muda yang masih berdiri kaku di dalam parit dengan sudut pandangannya. “Perkelahian ini harus segera selesai supaya Agung Sedayu tidak terlambat,” kembali Kiai Gringsing itu berkata di dalam hatinya.

Karena itu, maka tiba-tiba gerakannyapun segera berubah. Kiai Gringsing intu kini tidak saja banyak meloncat-loncat seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.

Bersamaan dengan itu terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung Sedayu “Sedayu, selagi kau sempat, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi.”

Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku ditempatnya. Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-Alap Jalatunda. Sedang Alap-Alap yang garang itupun terkejut melihat perubahan tata perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang bertopeng itu dapat bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang dihadapinya itu benar-benar orang yang setidak-tidaknya melampaui keperkasaannya. Karena itu maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam dirinya.

Kiai Gringsing adalah nama yang belum pernah didengarnya, bahkan orang bertopeng yang berkeliaran di daerah inipun belum juga pernah ada yang menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah orang ini Untara yang sedang menjebaknya.

Namun menilik tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara Untara mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan selalu mempergunakan kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap keprajuritannya.

Tetapi orang ini ternyata berkelahi seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru pada saat-saat terakhir ia merasa, orang bertopeng semakin cepat dan yang kemudian terasa benar oleh Alap-Alap Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa Ireng, hatinyapun menjadi berdebar-debar. Apakah kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu menangkap kawan Untara itu.

Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya.

Karena itu Alap-Alap Jalatunda menjadi bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap untuk dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang aneh. Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.

“Persetan dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-Alap Jalatunda. “Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini.”

Alap-Alap Jalatundapun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang. Apalagi ketika ia dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya telah melindungi Agung Sedayu.

Alap-Alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia berlari kearah kudanya.

Ternyata anak itu benar-benar cakap bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh langsung di atas punggung kuda itu. Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu meloncat dan berlari kencang-kencang seperti anak panah.

Kiai Gringsing memandang Alap-Alap Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung Sedayu.

Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata, “Bukankah aku menang?”

Ketika Agung Sedayu melihat Alap-Alap Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka anak muda itupun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya kini telah terusir pergi.

“Nah, Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing, “sekarang sebutlah namaku, setelah kau melihat tata perkelahianku.”

Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya jujur, “Aku tak tahu Kiai.”

Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh. Sedang matanya memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya di dalam hati, “Sayang.” Tetapi orang itupun kemudian segera berkata, “Sedayu, bukankah kau akan pergi ke Sangkal Putung?”

“Ya.” jawab anak muda itu. “Dari mana Kiai mengetahuinya?”

“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya yang besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat dielakkan” berkata orang bertopeng itu.

“Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Ah” desah orang bertopeng itu. Kemudian katanya “Bukankah dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya yang akan mengancamnya? Dan dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat dikurangi. Siapakah diantara mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?”

Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata terus “Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu.”

Agung Sedayu sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara kelak, apabila ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka iapun menjawab, “Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang.”

“Kenapa kita?” bertanya Kiai Gringsing. “Kaulah yang akan pergi. Aku tidak.”

“Tidak” sahut Agung Sedayu cepat-cepat. “Kiaipun akan pergi kesana.”

“Aku tidak berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.

Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu memandangi pohon randu alas di kejauhan. Dan tiba-tiba bulu-bulunya tegak di seluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti akan menyebutnya, putera Ki Sadewa.

“Hem” Agung Sedayu mengeluh. Meskipun demikian ia berkata, “Aku akan terlambat.”

“Mungkin” sahut Kiai Gringsing. “Nah, pakailah kudaku supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung tepat pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh di atas pedukuhan itu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang dikatakan Untara sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya, orang bertopeng itu berkata, “Naiklah. Dan pakai kudaku.”

Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke utara.

“Kiai, kiai…” panggil Agung Sedayu.

Tetapi orang itu segera menghilang di siku jalan. Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri, “Kalau aku tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam di dalam parit.”

Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung Sedayu tidak berani tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Karena itu segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih berdiri di tempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya iapun merasa berterima kasih kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia dapat mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun Agung Sedayu tak juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu terhadapnya.

Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung.

Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu. Dicobanya untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata kuda itu cukup jinak.

“Nah,” bisik Agung Sedayu, “kawani aku ke Sangkal Putung.”

Agung Sedayu segera naik ke punggung kuda itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda itu dipacunya ke Sangkal Putung. Di hadapannya terbentang sebuah jalan di tengah sawah yang panjang. Dan di ujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu mencoba untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga kudanya melaju terus.

Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh tombak saja di hadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya kuda itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo bermata satu.

Agung Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya.

“Hem” anak muda itu menarik nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. Masih utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata orang. Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang bermata lengkap.

Tetapi Agung Sedayu tak berani menoleh betapapun keinginan mendesaknya. “Ah, mungkin genderuwo itu takut karena aku putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa Alap-Alap Jalatunda itupun tak diganggunya.

Jalan di hadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini di hadapannya dilihatnya padukuhan yang kecil. Kali Asat. Padukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika sekali lagi Agung Sedayu membelok ke kanan sampailah ia ke jalan lurus menuju Sangkal Putung.

Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu. “Alangkah senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu benar-benar ada padaku” pikir Agung Sedayu. “Kalau aku seorang sakti yang tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsingpun tak dapat mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku akan mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang gerombolan liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku bunuh mereka satu demi satu.”

“Ah, tidak” bantahnya sendiri. “Setiap orang akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak menjadi orang yang baik”.

Namun disudut hatinya yang lain berkata “Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”. Dijawabnya sendiri, “Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat demikian pula, apakah bedanya? Alap-Alap Jalatunda misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-benar telah menemukan jalan yang benar. Bukankah Ayah dahulu pernah bercerita, tentang seorang saudagar kaya yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia tidak dapat membayar hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar itu dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin kepadanya. Sedang hutang itu sama sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada raja. Ketika raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka. Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja kepada raja sebagai ganti hutang yang tak dapat dibayarnya.”

Agung Sedayu puas dengan angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya didalam hati “Memang Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan kesalahan orang lain kepada kita.”

Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan.

“Ya, seandainya” kembali ia bergumam.

Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika didengarnya sebuah teriakan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang ke kandangnya, setelah semalam-malaman mencari mangsanya.

“Hampir pagi” desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. Di mukanya tampak sebuah padukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung di dalam lautan yang hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah dinding telah dilihatnya, dan di sudut jalan tampak sebuah gardu perondan.

Agung Sedayu langsung berpacu ke gardu itu. Ia tahu benar bahwa di gardu itu berjaga-jaga beberapa orang pamannya, Widura. Karena itu iapun tidak takut lagi bertemu dengan Alap-Alap Jalatunda.

Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang di gardu itupun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang yang sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting.

Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang berhidung mancung maju kedepan dan bertanya “Siapa kau?”

“Agung Sedayu” jawab Agung Sedayu lantang. “Aku akan bertemu Paman Widura.”

“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula.

“Penting sekali. Hanya Paman Widuralah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.

Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata “Apakah kau tidak dapat menunggu sampai besok?”

“Demi kepentingan Paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya.

“Antarkan anak muda ini” berkata orang itu kemudian.

Agung Sedayu masih berada di punggung kuda, ketika dua orang mendekatinya. “Marilah” berkata salah seorang daripadanya.

“Berjalanlah dimuka” sahut Agung Sedayu.

Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh kearah orang yang berhidung mancung, yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung itupun kemudian berkata “Anak muda, kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan, bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak Anakmas sampai di gardu ini”

“Oh” sahut Agung Sedayu. “Maafkan aku. Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan kebiasaan itu.” Dan dengan tergesa-gesa pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.

“Nah,” berkata pemimpin itu, “kami silahkan mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan Anakmas dan biarlah kuda itu disini.”

“Baik” jawab Sedayu. “Terima kasih.”

“Marilah” ajak salah seorang diantaranya. Dan orang itupun segera berjalan. Tetapi yang seorang lagi masih berdiri tegak. “Silahkan” katanya.

Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan di belakang orang pertama, kemudian orang kedua itu berjalan di belakangnya.

“Anak buah Paman Widura sangat berhati-hati” katanya di dalam hati. Namun meskipun demikian, sekali-sekali ia menoleh juga ke belakang, seakan-akan orang yang berjalan di belakangnya itu akan menerkamnya.

Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, di antara pagar-pagar batu setinggi dada, maka sampailah mereka di sebuah halaman yang luas. Pagar halaman itupun agak lebih tinggi dari pagar-pagar di sekelilingnya. Di depan halaman itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat.

Orang pertama, yang berjalan di muka Agung Sedayu itupun segera mengetuk pintu regol itu.

Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula di dalam. Empat kali berturut-turut.

Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang yang di mukanya itu sekali lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian pintu itupun terbuka.

“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.

“Peronda di gardu utara” jawab orang itu. “Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura”.

“Sekarang?” bertanya orang di dalam halaman.

“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata “Marilah anak muda.”

Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata dengan ketenangan yang dibuat-buat “Ya. Aku akan bertemu dengan Paman Widura.”

“Adakah sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu.

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar.”

Penjaga gardu itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Di timur laut dilihatnya bintang panjer esuk memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau kehilangan kewaspadaannya. Maka orang itupun bertanya “Siapakah kau?”

“Agung Sedayu” jawab Sedayu.

Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu berdesis “Nama itu asing bagi kami di sini.”

Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya “Paman Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadanya.”

“Baru saja Ki Widura beristirahat setelah nganglang hampir di seluruh Kademangan Sangkal Putung, Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu tegas.

Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya.

Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang berjalan ke regol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu berkata “Apa yang terjadi?”

“Oh” orang yang berada dihalaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya. “Selamat malam Bapak Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga. Aku ingin menundanya sampai besok.”

Bapak Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu dengan seksama. Dan kemudian terdengar orang itu bertanya “Kabar apakah yang kau bawa?”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung kepada Widura? Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika Agung Sedayu teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk membuktikan kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinyapun akan dikenal oleh orang-orang itu. Katanya “Aku membawa berita dari Kakang Untara.”

“Untara” Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar nama itupun mengulang pula meskipun hanya di dalam hati.

“Adakah Angger ini utusan Angger Untara?” bertanya Demang itu.

“Ya,” sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan, “aku adiknya.”

“Oh” desis Ki Demang. Dan tiba-tiba iapun segera membungkukkan kepalanya. Katanya “Maafkan kami. Kami belum mengenal Anakmas. Namun nama kakak Anakmas adalah jaminan bagi kami, bahwa kabar yang Anakmas bawa pasti kabar yang penting.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Demikian berpengaruhnya nama kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.

“Marilah Ngger” ajak Demang Sangkal Putung. “Biarlah Adi Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting.”

Agung Sedayupun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka berjalan melintas halaman yang luas menuju ke pendapa. Meskipun demikian Sedayu merasa bahwa dua orang berjalan di belakangnya.

“Rumah ini adalah rumahku” berkata Demang itu lirih. “Dan kademangan ini adalah kademangan yang subur. Karena itu Pajang menganggap penting untuk menempatkan Adi Widura disini meskipun daerah ini jauh dari garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang cerai berai.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.

“Sayang,” Demang itu meneruskan, “persoalan antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Sebenarnya Adipati Jipang itupun tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang. Orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah menyala, dengan hasutan-hasutan. Akhirnya Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya dengan jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan liar.”

Demang itu berhenti sejenak, kemudian meneruskan “Sekarang kita lihat, dendam menyala dimana-mana. Dapatkah Angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau seandainya dua orang bersaudara terpaksa bertempur dan saling membunuh karena mereka berada dipihak yang berlainan?”

Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu. Tetapi di dalam hatinyapun timbul pertanyaan, “Kenapa kita mesti bertengkar?” Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan yang mengerikan.

bersambung

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama