Api Di Bukit Manoreh (5)



Sambungan bagian (4)

“He, kenapa kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang yang sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air dikala udara begini dingin. Ayo bangunlah.”

Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi, “Hem, benar-benar kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpaksa membangunkan kau.”

Tiba-tiba orang itupun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata, “Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak. Hem” orang itu menggeleng-gelengkan kepala.

Tetapi ia berkata pula, “Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu.”

Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.

Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring, “Ha!” katanya, “ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur.”

Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri di hadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang bernah diucapkan oleh si Pande Besi Sendang Gabus atau oleh Alap-Alap Jalatunda.

“Berdirilah!” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.

Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun tak disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri. Katanya “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air.”

Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya, “Kau gagah benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”

Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.

“Tidak?” teriak orang bertopeng itu. “Kau tidak mau berkelahi?”

Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.

“Hem” desis orang bertopeng itu “Kau belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian.”

Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap di dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannyapun berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranyapun tidak kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat melepaskan perasaan takutnya.

“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Akupun tidak akan memaksa. Dahulu akupun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang bertopeng itu.

Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya, “Siapa?” katanya.

Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, “Namanya Ki Sadewa.”

“He?” Agung Sedayu terkejut. “Kau sebut nama itu?”

“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian, benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut Kiai Gringsing.

“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.

“He?” orang itu terkejut. “Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”

“Ya” jawab Agung Sedayu pendek.

“Pantas, pantas” gumamnya. “Kau memiliki kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan sifat-sifat yang sama pula.”

Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu bertanya menyentak, “Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “orang itu benar-benar ayahku.”

“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.

Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya.

Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula, “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”

Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.

“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi,” ia meneruskan, “kau dapat berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”

Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena itu Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi keahlian ayahnya itu. “Baiklah” jawabnya.

“Nah,” berkata Kiai Gringsing, “aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.

“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak menyamainya.

Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi. “Aku sudah mulai” teriaknya.

Sedayupun segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.

“Dahsyat!” teriak Kiai Gringsing “Di dalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani menanatangmu.”

“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga.

“Ya, aku percaya” jawab orang itu.

Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa di dalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain.

Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat di dengarnya derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali. “Suara kuda” desisnya.

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “dari arah tikungan randu alas.”

Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-Alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar.

Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya, “Jangan hiraukan suara derap itu, siapapun yang akan lewat biarlah ia lewat.”

Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing. “Anak muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak kapan kau berlatih membidik?”

Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa seperti derap di jantungnya. Namun ia menjawab, “Sejak kecil.”

Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu ke hutan daripada berlatih membidik di rumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani kut serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk anak-anak.

Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula.

“Anak muda,” berkata Kiai Gringsing, “agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita bertemu.”

“Jangan, jangan pergi, Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat mendekati orang bertopeng itu.

“Kenapa?” Kiai Gringsing bertanya.

“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-Alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.

“Alap-Alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.

“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.

“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing “Kalau Alap-Alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”

“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung Sedayu.

“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu, he anak muda, dan siapa nama kakakmu?” sahut Kiai Gringsing “Apakah Alap-Alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”

“Namaku Sedayu, Agung Sedayu, dan kakakku bernama Untara,“ jawab Sedayu, yang segera disusulnya dengan terbata-bata, ”Kiai, tolonglah aku” minta anak muda itu.

Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya, “Kau benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun tidak.”

“Tidak, Kiai. Aku minta Kiai menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa ia berkata, “Aku tidak pernah berkelahi. Aku takut.”

Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena Alap-Alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-Alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk meluruskan jalannya.”

Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayupun menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu kearahnya.

“Itulah dia, Kiai” berkata Sedayu. “Tolonglah aku.”

“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai Gringsing. “Atau kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”

“Tidak, tidak,” jawab Sedayu mendesak, “aku takut.”

“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-sungguh. “Seandainya kau bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan dibunuhnya.”

Tetapi Agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya, “Aku tidak berani Kiai, aku takut.”

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya bergerak-gerak.

“Baiklah,” katanya, “agaknya kau bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau mampu melawan Alap-Alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang bertopeng dan berselimut kain gringsing itu meloncat, ringan sekali, ke atas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata, “Jangan berendam lagi di dalam air Sedayu, kau akan membeku.” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang hanya dapat didengarnya sendiri, “Tak berhasil.”

Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itupun menjadi semakin dekat. Di atas punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda itupun telah melihat seekor kuda berhenti di tengah jalan. Karena itu, timbullah pertanyaan di dalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda itu?”

Orang yang datang itu benar-benar Alap-Alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.

“Setan!” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang. “Dimana kau sembunyi, kelinci licik?”

Dan karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan Alap-Alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi di sekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat seekor kuda berdiri di jalan itu, maka Alap-Alap Jalatunda itu menjadi berdebar-debar. “Persetan, siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan disekitar Sangkal Putung.”

Kuda Alap-Alap Jalatunda itupun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayupun menjadi semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti kedatangan Alap-Alap muda yang garang itu.

“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing. “Kalau aku terbunuh oleh Alap-Alap Jalatunda, kaulah yang bersalah.”

Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinyapun akan mengalami bencana. Karena itu desisnya, “Jangan Kiai, jangan kalah.”

Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli. “Tak seorangpun yang mau kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorangpun yang pasti bahwa ia tidak akan dikalahkan, betapapun lemah lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha.”

Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-Alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda diatas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa langkah saja di hadapan kuda Kiai Gringsing. Di dalam cahaya bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya di dalam parit seorang lain berdiri gemetar. “Ha!” teriaknya kegirangan. “Kaukah itu?”

Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.

Alap-Alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya. “Apakah kau penari topeng?”

Tetapi orang bertopeng itu menjawab, “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap cerita.”

“Huh!” Alap-Alap itu mencibirkan bibirnya. “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-Alap Jalatunda.”

“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing.

Alap-Alap Jalatunda mengerutkan keningnya. “Dari mana kau tahu?”

“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.

“Apamukah itu?” bertanya Alap-Alap Jalatunda pula.

“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing. “Karena itu aku harus bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda.”

Alap-Alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram, “Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu.”

“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu.

“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-Alap Jalatunda.

“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.

“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-Alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-Alap yang sedang marah itu.

“Tidak” sahut Kiai Gringsing. “Aku sama sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam di dalam parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-Alap Jalatunda. Anak muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-Alap Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”

“Cukup!” bentak Alap-alap Jalatunda, “jangan membual!” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan yang aneh, ketika ia mendengar cerita Kiai Gringsing tentang dirinya.

Kemudian terdengar Alap-Alap Jalatunda itu meneruskan, “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya.”

Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak” jawabnya. “Tak seorangpun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku.”

“Hem” Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan. “Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu.” Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di dalam dadanya. Telah dua orang yang menyebut anak itu sebagai orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari mulut Untarapun ia pernah mendengar hal itu. Tapi, adakah orang bertopeng ini Untara yang sedang menjebaknya? Alap-Alap itu menggeleng. “Tak mungkin, Untara terluka.”

Terdengar kemudian jawaban Kiai Gringsing, “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak.”

“Jangan banyak bicara!” potong Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian marah. “Bersiaplah. Kau atau anak muda itu bagiku sama saja. Satu demi satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian berdua sekaligus. Mari!”

Alap-Alap itupun segera bersiap. Agaknya ia mau cepat-cepat selesai sehingga tiba-tiba saja di tangannya tergenggam pedangnya yang putih berkilat-kilat.

“O,” berkata Kiai Gringsing, “baiklah. Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu. Tunggu sebentar, aku mengambil senjataku.”

Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban Alap-Alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya. Katanya kemudian, “Apakah kau akan bertempur diatas punggung kuda?”

Alap-Alap Jalatunda menggeram. Jawabnya, “Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai.”

“Aku akan bertempur di atas tanah” sahut Kiai Gringsing.

Alap-Alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya.

Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti di dalam mimpi. Ya, hampir semalam penuh ia diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi itupun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa ujung pedang Alap-Alap Jalatunda itu bukan sekadar menakut-nakutinya di dalam mimpi, maka kembali bulu-bulunya meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi pula oleh keringat dinginnya.

Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar mengejutkan Alap-Alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-Alap Jalatunda merasa terhina memaki-maki “Setan topengan! Kau sangka leluconmu itu baik. Kalau kau terbunuh pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal. Dan jangan mengharap orang lain dapat menuntut atas setiap pembunuhan yang aku lakukan. Di daerah pertempuran tak pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya.”

“Kau benar” sahut Kiai Gringsing. “Hukum di daerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang. Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya mereka tidak kehilangan kemanusiaannya.”

“Persetan!” bentak Alap-Alap Jalatunda yang sudah tidak sabar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya tepat mengarah ke dada orang bertopeng itu. “Mampus kau!” teriak Alap-alap Jalatunda.

Tetapi sekali lagi Alap-Alap Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak bergerak, namun ujung pedang Alap-Alap Jalatunda tidak menyentuhnya.

“Gila!” geram Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi semakin marah. Diputarnya pedangnya dan seperti angin prahara ia menyerang lawannya.

Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-Alap Jalatunda itupun lincah dan tangkas. Namun Kiai Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-Alap yang garang itu selalu dapat dielakkan.

Demikianlah kemudian mereka berdua terlibat dalam perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-Alap Jalatunda itu segera mengurung lawannya, sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk bergerak. Namun adalah sangat mengherankan. Alap-Alap Jalatunda tak dapat mengerti, setiap sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya bergetar. Mula-mula ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus apabila tersentuh tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi Alap-Alap yang masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-Alap Jalatunda tidak menjadi cemas. Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin garang.

bersambung Bagian 5

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama