Api Di Bukit Manoreh (4)



“Kaukah itu Kriya?” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. Jawabnya, “Ya kiai, aku diseretnya ketika aku sedang melihat air di parit. Aku sangka karena hujan yang lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah orang-orang ini.”

“Tak usah mengigau!” bentak salah seorang dari mereka. “Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya.”

“Siapa?” berkata Ki Tanu Metir.

Seorang anak muda diantara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir. “Hem” geramnya. “Kita telah berkenalan, Kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu.”

“Ya, ya Angger, aku pernah mengenal nama Angger. Bukankah angger Alap-Alap Jalatunda?”

“Siapakah yang memberi aku gelar demikian?” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan itu.

“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir. “Mungkin karena kedahsyatan Angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh.”

Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya, “Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku.”

“Tidak Ngger, tidak,” sahut Ki Tanu cepat-cepat, “aku pasti akan membantu Angger.”

Di sentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi semakin berdebar-debar ketika di dengarnya nama Alap-Alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin, setiap goresan di tubuh lawannya, betapapun kecilnya, akibatnya adalah maut. Warangan yang keras di kerisnya itu benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak segera dapat penawarnya.

Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-Alap Jalatunda berkata, “Ki Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang kemari untuk berobat?”

Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu maka Alap-Alap muda itu membentaknya, “Jawab pertanyaanku!”

Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya, “Tidak Ngger, tak seorangpun datang kemari.”

Alap-Alap Jalatunda tertawa. Katanya, “Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana dia sekarang?”

“O, Angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir.

“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.

“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini.”

“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong!” bentak anak muda itu.

“Aku tidak berbohong Ngger” jawab Ki Tanu.

Pandangan mata Alap-Alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata, “Kau sudah tua. Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku, dimana Untara kau sembunyikan?”

Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga “Tak ada Ngger, benar-benar tak ada.”

“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu. “Aku bertemu dengan anak itu di ujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari.”

“Tidak Ngger,” jawab Ki Tanu, “sungguh tidak.”

“He monyet bungkuk!” teriak Alap-Alap itu kepada Kriya. “Jawab pertanyaanku!”

Kriya itupun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-Alap yang garang itu berteriak.

“Kau lihat orang berkuda masuk ke dukuh Pakuwon.”

“Aku dengar derap kuda, sahut orang itu.

Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang di wajahnya, sehingga Kriya itupun terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya.

“Kau lihat dua orang di atas satu punggung kuda seperti katamu tadi di tikungan?” teriak Alap-alap itu.

Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut dihatinya.

Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong dikatakannya di tikungan ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali lagi di hadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani di padukuhan itu. Ki Tanu Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu.

Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-Qlap Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun di kepalanya dengan kedua telapak tangannya ia memohon, “Ampun.”

Alap-Alap Jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu, “Kenapa kau tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu.

Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun kali inipun tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya.

Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan, “Kriya, berkatalah sebenarnya.”

Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulang, “Katakanlah apa yang kau ketahui kepada Angger Alap-Alap Jalatunda.”

Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-Alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya dimuka wajahnya. “Ampun Ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu.”

“Hem, baru sekarang kau katakan itu, “geram Alap-Alap Jalatunda. “Lalu?”

“Ya, dua ekor kuda diatas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda diatas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.

Kemudian Alap-Alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya, “Kau dengar Dukun Tua, lidah si bungkuk itu terputar-putar?”

“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir. “Tetapi adakah seseorang yang masuk ke padukuhan ini pasti datang ke rumahku? Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?”

Alap-Alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya, “Hanya di sini tinggal seorang dukun yang ternama.” Dan tiba-tiba mata Alap-Alap itu menjadi liar. “Mana dia?” bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya.

Untara yang mendengar bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi tenang, “Angger, kalau Angger tidak percaya, silakan mencarinya.”

Mata Alap-Alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling ke segenap sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak, “Bohong!”

Tiba-tiba di antara mereka, di antara kawan-kawan Alap-Alap Jalatunda itu terdengar seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-Alap Jalatunda, “He Alap-Alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari di semua sudut rumah ini.”

Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut Alap-Alap Jalatunda dengan sebutan Alap-Alap kecil itupun pasti bukan orang kebanyakan. Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar.

Alap-Alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya, “Bagus,” dan kepada anak buahnya ia berkata, “carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang Plasa Ireng.”

“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu di dalam hati.

Dan debar jantungnyapun menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya Penangsang.

“Orang itu ada disini pada saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.

Sesaat kemudian orang-orang Alap-Alap Jalatunda itu memencar ke segenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun dibukanya. Tetapi tak seorangpun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiripun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu di tangan mereka. Namun di sentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan di sentong kiri seonggok untaian padi di dalam bakul yang besar. Namun Untara tak mereka temukan.

Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa nyaring di luar pintu. Katanya, “Kuda itu telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini.”

Alap-Alap Jalatundapun segera meloncat keluar. Segera iapun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu di bawah cahaya oncor di tangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil, “Bawa Kriya kemari!”

Kriya yang pendek itupun segera didorong keluar. Kemudian diseret mendekati Alap-Alap Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.

“Kriya bungkuk!” teriak Alap-Alap muda itu. “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi.”

“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata.

“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-Alap Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu.

“Tidak, tidak” sauara Kriya hampir merintih.

“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-Alap Jalatunda.

“Tidak…” sahut Kriya.

“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.

“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan padukuhan ini” jawab Kriya mencoba menyelamatkan dirinya.

“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya, “Yang datang berdua, yang pergi hanya seorang.”

“Ha!” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar mengherankan.

Tiba-tiba terdengar Alap-Alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itupun tertawa pula. Terdengar Plasa Ireng berkata, “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka ditinggalkannya disini.”

Untara menjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-Alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal di luar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa Ireng membentak, “He, dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-Alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya di segala medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku dengar. Di segala garis perang Untara pasti berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang di mana orang itu.” Kemudian katanya kepada Alap-Alap Jalatunda, “Alap-Alap kecil, serahkan Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi.”

“Anak itu telah pergi” jawab Alap-Alap Jalatunda.

“Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung.”

Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan.

Dada Untarapun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-Alap Jalatunda “Untara adalah lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu.”

Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya, “Kaukah yang melukainya?”

“Sudah aku katakan” jawab Alap-Alap Jalatunda.

“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.

“Ya” sahut anak muda itu.

Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya, “Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar Alap-Alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu pula.”

Wajah Alap-Alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab, “Jangan memperkecil arti Alap-Alap Jalatunda di daerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah berhasil mengalahkan mereka.”

“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada Alap-Alap Jalatunda itupun ia berkata, “Kalau sekali lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai ketemu.” Kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata, “Ke arah mana kuda yang itu?”

Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannyapun meluncur dengan lancarnya, “Ke selatan.”

“Terus?” desak Plasa ireng.

“Tidak. Di simpang tiga membelok ke barat” jawabnya.

“Nah, kejar dia. Lewat Kali Asat” perintahnya.

Alap-Alap Jalatunda masih berdiri di tempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak, “Pergi!”

Alap-Alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi ke jalan kecil di muka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari.

Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi di atasnya. Namun terasa pundaknya menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng membentak, “He dukun tua, jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak, sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang.”

Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang baik itu mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab tenang, “Sayang Ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu.”

“He!” Plasa Ireng berteriak. “Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu.”

“Ia berada dirumahku,” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada di tanganku.”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan kelam. Untara tidak sadarkan diri.

Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu di langit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah.

Di atas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali Asat, terdengarlah suara kaki kuda berderap .Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh.

Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh ke depan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia akan sampai ke Bulak Dawa. Di ujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu alas. Di bawah randu alas jalan membelok ke kiri lewat Kali Asat dan sekali lagi ia harus membelok ke kanan. Kemudian ia akan sampai ke jalan lurus langsung menuju Sangkal Putung.

Teringatlah ia akan cerita tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap di dalam hati. Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya ke daerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya.

Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah sampai di kelok jalan, dan sesaat kemudian di hadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak Dawa.

Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang di langit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar ke atas daun-daun padi yang subur di tanah persawahan. Di sana sini air yang bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu.

Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu di tubuhnya menjadi tegak.

Jauh di arah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur ke selatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan di tepi hutan itu. Ia manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka.

Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang di ujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu di mata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti.

Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke Dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya.

“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara di atas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun ke daerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.

“Ibu, Ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya.

Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh di belakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-Alap Jalatunda.

Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-Alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika Pande Besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat.

“Menyenangkan” desisnya. “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu.”

Maka Alap-alap Jalatunda itupun memacu kudanya lebih cepat. “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya.”

Kaki-kaki kuda Alap-Alap Jalatunda itupun berderap pula di atas jalan berbatu menuju Kali Asat. Di benaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Cerita itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-Alap yang muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-Alap yang garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang di depannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara.

Karena itu Alap-Alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.

Kembali Alap-Alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak muda itu.

Di Bulak Dawa Agung Sedayu masih terpekur di atas punggung kudanya yang tegak seperti patung. Dadanya yang penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali terdengar ia mengeluh. Di tengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan di dadanya.

Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti di tengah-tengah jalan di antara sawah-sawah yang terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat didengarnya derap kuda di belakangnya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik. “Derap kuda”, desisnya. “Siapa?”

Sedayu mencoba untuk menebak. “Adakah Kakang Untara?” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng “Lukanya agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.

“Adakah mereka itu gerombolan Alap-Alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik maka perhitungannyapun picik pula. Katanya, “Alap-Alap Jalatunda tidak berkuda.”

Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah di dalam benaknya, “Bagaimanakah kalau Alap-Alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”

Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung Sedayu menjadi pasti. Pikirnya, “Derap kuda itu adalah derap kudaku sendiri, tetapi dengan Alap-Alap Jalatunda di punggungnya”.

Demikianlah, tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang jernih. Yang ada di dalam hatinya tinggallah, “Bagaimana aku harus bersembunyi dibulak ini?”

Derap kuda di belakangnya itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat mengira-irakan, masih seberapa jauhnya. Namun di malam yang sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya tinggal beberapa langkah di belakangnya.

Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerembab di tanah yang becek. Tertatih-tatih ia bangun, kemudian berlari-lari terjun ke dalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian berputar-putar dan berlari kencang-kencang ke arah tikungan randu alas.

Pada saat itulah Alap-Alap Jalatunda muncul di kelok jalan dibelakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu itupun berdesir ketika didalam keremangan cahaya bulan ia melihat seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda kawan Untara?”

Jarak kedua ekor kuda itu masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-Alap Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa di punggung kuda itu tak ada seorangpun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan Untara.

“Bukankah aku Alap-Alap Jalatunda” desisnya. “Alap-Alap Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-Alap yang muda itu tersenyum sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban, “Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara sedang terluka parah.”

Alap-Alap Jalatunda itupun segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-Alap itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung alap-alap yang berteriak di udara. Kudanya itupun berlari semakin kencang seperti gila.

Agung Sedayu seakan-akan membeku didalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari di muka hidungnya.

Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat di atas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya. Alap-Alap Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak di dalam rongga dadanya.

Suara kuda Alap-Alap Jalatunda itupun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh genderuwo bermata satu di ujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang keputih-putihan di tengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas.

Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-Alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam ke pusat dadanya. Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit.

Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari ke arah jalan kembali ke Dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-Alap Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja. Tidak ke arah Alap-Alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai ke pangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu langkahnyapun terhenti.

Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, di sepanjang Bulak Dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia berlari ke parit di tepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.

Ketika kuda itu muncul di siku jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun ke dalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat di muka Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti.

Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia manjadi semakin ketakutan dan kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya.

Didengarnya orang di atas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian di dengarnya orang itu berkata “Siapa yang bersembunyi di dalam parit?”

Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada diujung ubun-ubunnya.

“He, jawablah!” terdengar suara itu pula. Berat dan lantang “Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.”

Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun mulutnya masih terkunci.

“Nah” suara itu berkata pula. “Kau tidak mau menampakkan dirimu. Siapapun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.”

Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu, maka berderailah tertawanya.

 bersambung ke Bagian 5

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama