Maka , sambil melatih ilmu tangan kosong dari Bu-tek Cin-keng , Yang Cien kadang juga melakukan gerakan-gerakan itu dengan Pedang Naga Putih dan merangkai sebuah ilmu silat Pedang yang dia namakan Pek Liong Kiam-sut ( Ilmu Pedang Naga Putih ) ! .
****
Keadaan di Cina utara pada waktu itu memang baru saja di landa perang saudara yang hebat . Seperti tercatat dalam sejarah , pada tahun 221 – 265 , Cina di kuasai oleh tiga kerajaan dan masa itu di kenal sebagai Zaman Sam Kok ( Tiga Negara ) . Sam Kok ini menyusul runtuhnya Kerajaan Han Timur . Negara Cina terpecah-pecah menjadi tiga kelompok .
Kerajaan Wei berkuasa di utara , yaitu di Shan-si , Shan-si utara dan daerah lain di utara . Kemudian di Barat daya berkuasa Kerajaan Shu yang kekuasaannya meliputi daerah Hupei , Huna , Se-cuan dan Yunan . Adapun di Tenggara berkuasa Kerajaan Wu . Dengan demikian , selama 221 – 265 , Cina memiliki tiga orang Kaisar .
56
Tiga Kerajaan ini tiada hentinya berperang , saling bermusuhan sehingga rakyat menderita sengsara karena perang segi tiga yang tiada henti-hentinya . Akan tetapi akhirnya pada tahun 265 , Kerajaan Wei keluar sebagai pemenangnya , menaklukan dua kerajaan yang lain dan Cina di kuasai dan dipersatukan oleh Kerajaan atau Dinasti Wei .
Namun apakah ini berarti bahwa keadaan Negara menjadi tentram ? Jauh daripada itu ! Keadaan Kerajaan Wei tetap saja lemah , Kesatuan tidak dapat dipelihara dengan baik . Para tuan tanah , pejabat daerah , jendral-jendral silih berganti berperang memperebutkan kekuasaan di daerah-daerah . Pertempuran kecil dan besar timbul di seluruh Cina , dari bagian utara sampai selatan . Kekuasaan berganti-ganti jatuh ke tangan pemenangnya , dari jendral ini di rebut kembali oleh jendral itu .
Wangsa-wangsa baru berdiri jatuh-bangun , timbul – tenggelam .
Itu semua masih belum hebat . Masih di tambah lagi penyerbuan suku-suku Nomad yang berebutan menduduki daerah-daerah luas di pinggiran . Suku Hsiung nu , Suku Tibet , Turki dan Bangsa Toba yang paling berpengaruh itu menyerbu dari utara dan barat , bahkan Bangsa Toba akhirnya mendirikan Kerajaan Toba yang berkuasa di seluruh Tiongkok utara . Tiongkok terpecah-belah dan kekacauan ini berlangsung terus sejak tahun 265 sampai sekarang , hamper tiga abad lamanya .
Di selatan juga banyak sekali raja-raja kecil timbul sebagai akibat dikuasainya daerah utara oleh Bangsa Toba dan di antara raja-raja kecil inipun selalu timbul perang memperebutkan wilayah .
Bangsa Toba adalah suatu suku dari bangsa Mongol yang termasuk suku yang gagah perkasa , pandai menunggang kuda dan pandai menggunakan anak panah yang pada waktu itu merupakan senjata paling ampuh dalam perang . Juga
Bangsa ini sejak dari kampong halamannya si utara , sudah suka sekali akan kekerasan dan olah keperwiraan . Mereka itu ahli gulat dan juga memiliki semacam ilmu bela diri yang cukup ampuh karena mereka mendapatkannya dari bangsa India dan juga banyak orang Han yang mengajarkan ilmu silat mereka kepada bangsa ini .
Bagaimanapun juga , Kerajaan Toba ini tak dapat di bilang kuat . Kerajaan ini membagi-bagi daerah kepada sekutunya , yaitu kepada Bangsa Hsiung-nu , bangsa Tibet , Turki dan lain-lain . Karena daerah itu terpecah-pecah dan dibagi- bagikan , maka tentu saja kekuasaannya terbatas . Apalagi pada masa kisah ini terjadi , Kaisar Bangsa Toba yang terakhir adalah seorang pemabok dan yukang pelesir yang tidak ketulungan lagi .
Dia berjuluk Julan Khan , berusia limapuluh tahun dan biarpun dia seorang yang memiliki ilmu silat dan ilmu perang yang ampuh , namun karena dia hanya bersenag- senang saja , maka dia dapat dibilang seorang kaisar yang lemah . Untuk mendapatkan seorang wanita saja , dia tidak segan untuk mengerahkan pasukannya menyerang daerah dimana wanita yang digandrunginya itu tinggal .
Kalau wanita itu dengan baik-baik di serahkan , dia tidak akan sayang untuk menghujani hadiah kepada keluarganya atau kepada kepala daerahnya , akan tetapi kalau sampai di tolak , tentu daerah itu di gempur , banyak orang tewas dan akhirnya wanita itu dibawanya sebagai hasil menang perang ! .
Raja Julan Khan memilih Tiang-an sebagai kota raja dan di sini dia hidup serba mewah dan berenang dalam lautan kesenangan , tidak memperdulikan bahwa semua pejabat , dari pusat ke daerah , semua melakukan koropsi dan penindasan kepada rakyat jelata .
Mendiang kakek Yang Kok It adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Han dan Wei , maka dia tidak mau bekerja lagi ketika Kerajaan Toba berdiri , apalagi dia sudah tua .
Akan tetapi puteranya , Yang Koan , bekerja kepada Kerajaan Toba yang ketika itu masih di pimpin oleh ayah kaisar yang sekarang . Akan tetapi , mendiang Yang Koan paling membenci rekan-rekannya yang melakukan penindasan kepada rakyat .
Dan akhirnya karena berselisih paham , Yang Koan dan istrinya tewas ditangan saingannya , yaitu para pembesar yang korup , yang menggunakan seorang sakti untuk membunuhnya , bahkan lalu orang sakti yang bernama Toang-beng Kiam-ong Lui Tat itu mendapat tugas untuk mengejar dan mencari kakek Yang Kok It yang melarikan diri bersama cucunya yang bernama Yang Cien . Akhirnya pengejaran dihentikan karena tidak terdengar lagi berita tentang kedua orang itu .
Toat-beng Giam-ong Lui Tat yang berjasa membunuh Yang Koan sekeluarga , oleh para pejabat lalu dihadapkan kaisar dan diberi pujian sehingga kakek ini lalu di angkat menjadi penasehat militer yang tentu saja memiliki kedudukan yang tinggi di kota raja .
Pada suatu siang udara sangat panas karena musim panas sedang berada di tengah-tengah . Panasnya udara membuat orang segan keluar dan kedai-kedai minuman di penuhi tamu yang akan melepas dahaga .
Seorang pemuda memasuki kedai minuman itu . Dia seorang pemuda tinggi besar , mukanya agak gelap seperti muka yang banyak terbakar matahari , pakaiannya seperti pakaian orang dusun namun bersih .
Rambutnya yang panjang dibiarkan terjurai ke belakang punggung , di ikat dengan sehelai kain putih dan punggungnya yang lebar menggendong sebuah buntalan panjang . Orang ini mendatangkan kesan kokoh kuat sehingga tidak ada yang berani untuk mencoba mengganggunya . baru kedua lengannya saja yang nampak tersembul keluar dari lengan bajunya yang di gulung , nampak kekar berotot sebesar jari tangan . Usianya sekitar duapuluh satu tahun dan begitu memasuki kedai minuman itu dia langsung memesan minuman kepada pelayan .
Suaranya besar dan dalam , kata-katanya singkat saja . Pemuda ini bukan lain adalah Cian Kauw Cu atau Akauw .
Perantauannya membawa dia ke kota raja Tiang-an di siang hari itu dan biarpun dia amat menganggumi besarnya dan indahnya rumah-rumah di sepanjang jalan yang dilaluinya , namun dia tidak memperlihatkan kekaguman dan keheranannya .
Kini dia sudah terbiasa melihat banyak orang , sungguh pada waktu pertama kali memasuki sebuah dusun dan melihat begitu banyaknya manusia , dia menjadi panic dan gentar juga . Apalagi ketika pertama kali melihat wanita muda , dia sampai melotot memandanginya dan wanita itu menjadi ketakutan lalu melarikan diri . Tak di sangkanya bahwa bangsanya ada juga betinanya , dan begitu mempesona ! Akan tetapi karena sebelumnya dia sudah banyak mendengar keterangan Yang Cien , maka keheranannya tidaklah begitu mengubah sikap dan wataknya . Dia harus sopan terhadap wanita , demikian ajaran suhengnya . Sopan itu berarti tidak menegur mereka kalau tidak kenal , tidak memandang terlalu lama , dan tidak mendekati mereka . Kecuali kalau sudah berkenalan .
“ Pelayan , cepat sediakan the dingin untukku ! Aihh , panasnya !” suara nyaring ini menarik perhatian Cian Kauw Cu . Dia segera menengok dan hamper saja dia tertawa . Seorang pemuda , melihat bentuk tubuhnya yang ceking tentu masih remaja , akan tetapi sikapnya seperti seorang yang sudah dewasa saja , memasuki kedai itu lalu memilih tempat kosong , tak jauh dari tempat duduk Kauw Cu .
Dan begitu the yang dipesannya tiba , dia lalu mengangkat sebelah kakinya ke atas bangku dan minum dengan lahapnya . Kauw Cu tersenyum dan kebetulan pemuda remaja itu juga memandang kepadanya . Mereka saling pandang dan Kauw Cu melihat betapa sepasang mata itu memiliki senar tajam penuh selidik dan manik matanya bergerak gerak amat cepatnya ,
menunjukkan kecerdasan otaknya .
“ Hemm , kalau orang tersenyum-senyum sendiri tanpa sebab itu namanya orang gila . Ku harap engkau masih waras , sobat . Kenapa engkau tersenyum-senyum sendiri yang menatap aku seperti itu ?” .
Pertanyaan inipun di anggap lucu oleh Kauw Cu . “ Aku tersenyum melihat engkau minum begitu lahapnya , sobat . Agaknya engkau sudah haus sekali “ .
“ Siapa tidak haus dalam hawa sepanas ini ?” kata pemuda itu dan selanjutnya dia tidak memperdulikan lagi kepada Kauw Cu yang juga sudah mengalihkan perhatiannya kepada minumannya . Yang Cien menasehati bahwa dia tidak boleh usil , tidak boleh mencampuri urusan orang lain . Inipun demi menjaga kesopanan dan menjauhkan percekcokan .
Dan melihat bahwa di meja lain duduk seorang yang melihat pakaiannya seperti seorang pembesar , bersama tiga orang yang berpakaian seperti ahli silat , mungkin tukang- tukang pukulnya . Pembesar itu dengan alis berkerut melirik kea rah pemuda yang nongkrong mengangkat sebelah kakinya sambil minum the dengan suara berseruputan dan agaknya dia tidak senang sekali .
Lalu dia berbisik kepada seorang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar bermuka bopeng . Biarpun dia berbisik , namun Kauw Cu dapat mendengar bisikan itu . Telinganya sudah terlatih baik , bersatu dengan nalurinya .
“ Beri hajaran kepada anak muda kurang ajar itu dan lempar dia keluar !” . kata sang pembesar kepada tukang pukulnya yang bertubuh tinggi besar .
Tukang pukul ini lalu bangkit . Tubuhnya memang tinggi besar , lebih tinggi dibandingkan tubuh Kauw Cu sehingga mengingatkan Kauw Cu akan seekor biruang , musuh utamanya di hutan . Si Biruang itu lalu menghampiri pemuda tadi dan menghardik .
“ bocah liar ! Di sini terdapat seorang pembesar , dan engkau duduk nongkrong mengangkat kaki seperti monyet , minum berseruputan seperti babi !” .
Pemuda itu sama sekali tidak nampak ketakutan di hardik dan dimaki seperti itu , malah membelalakkan matanya dan nampak keheranan .
“ Aih , aih .... Engkau ini mabok ,ya ? Di sini tempat umum , aku boleh nongkrong , boleh duduk sesukaku , aku tidak merugikan orang lain kenapa rebut-ribut ?” .
Si muka bopeng menggerakkan tangannya , memegang leher baju bagian belakang pemuda remaja itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi , sehingga tubuh pemuda itu tergantung . “ Engkau banyak membantah , ya ? Hayo pergi dari sini .... !” .
Dia membawanya keluar dan hendak melemparkan tubuh pemuda itu ketika Akauw sudah datang menghadangnya .
“ Sobat , anak ini tidak bersalah apa-apa , tidak merugikan siapa-siapa , harap jangan di ganggu “ .
Menghadapi pemuda yang membela anak itu , si muka bopeng menjadi marah sekali . Dia melepaskan anak muda itu yang segera lari ke belakang meja untuk berlindung .
“ Jahanan busuk , engkau tidak tahu aku siapa , ya ? Aku pengawal Gu-taijin , jaksa di sini tahu ?” .
“ Maaf , aku memang tidak mengenalmu , sobat . Dan aku tidak mencari keributan . Aku hanya minta agar engkau jangan memukul anak yang tidak bersalah itu “ .
“ Baik , kalau aku tidak boleh memukul dia , aku akan memukulmu ! “ .
Setelah berkata demikian , si muka bopeng menggerakkan tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala anak-anak itu meluncur dan menghantam kea rah muka Akauw . Dengan
tenang Akauw menggerakkan tangan kirinya , menyambut kepalan tangan kanan lawan itu dan mencengkramnya .
“ Auuwww .... !” si muka bopeng berteriak kesakitan , akan tetapi dasar dia tidak tahu diri , kini tangan kirinya melayang kea rah kepala Akauw .
Akauw menggunakan tangan kanannya menyambut dan menangkap kepalan kiri itu dan kini kedua tangan lawan itu berada dalam genggamannya dan si muka bopeng mengaduh- aduh karena dia merasa kedua kepalan tangannya remuk . Akauw lalu mendorongnya ke belakang karena pada saat itu , dua orang pengawal yang lain sudah menerjangnya .
Akan tetapi kedua orang itu terbelalak ketika tiba-tiba saja orang yang mereka serang itu menghilang . Kiranya Akauw melompat dengan cepat sekali ke atas dan bergantung kepada tiang , kemudian selagi kedua orang tukang pukul itu kebingungan , dia pun meloncat turun ke belakang mereka , kedua tangannya menjambak rambut kepala mereka dan mengadukan dua buah kepala itu , tidak terlalu keras akan tetapi cukup membuat kepala itu benjol dan bermunculan ribuan bintang yang membuat kedua orang itu pening dan terkulai . Untung Akauw masih ingat untuk tidak membunuh orang . Kalau terlalu keras dia mengadukan kepala itu sudah pecah dan tentu saja orangnya mati .
Geger di kedai minuman itu . Melihat ketiga tukang pukulnya sudah roboh , si tinggi besar masih berjingkrak karena kedua tangannya terasa nyeri , kiut miut rasanya dan kedua orang yang masih duduk memegangi kepala yang rasanya seperti berputar-putar . Jaksa itu pun tahu diri dan bangkit keluar dari kedai meinuman . Akan tetapi sebelum keluar , sesosok bayangan menyelinap dan pemuda remaja itu sudah berdiri di depannya .
“ Heii , jaksa . mau kemana kau ? sudah membikin kacau hendak menghina orang , kini mau pergi begitu saja ?” .
Jaksa yang gendut itu menjadi marah . Dia memang gentar
menghadapi Akauw , akan tetapi bocah kurang ajar yang ceking ini tentu saja tidak membuatnya takut .
“ Minggir , bocah setan atau ku pukul kepalamu !” bentaknya .
“ Wah , malah mau pukul ? Kepalan tahumu itu bisa memukul . Coba hendak ku rasakan kepalan tahumu itu . Jangan – jangan untuk memukul kepalaku malah remuk !” .
Di ejek begitu sang jaksa lalu mengerahkan seluruh tenaganya mengayun kepalan tangan kanannya memukul kepala anak itu , akan tetapi tiba-tiba bocah itu merendahkan tubuhnya sehingga pukulan itu luput dan tubuhnya terbawa oleh tenaga pukulan terhuyung ke depan . Tubuh yang perutnya gendut itu terhuyung , maka ketika kaki pemuda itu mengganjal kakinya , tanpa dapat di cegah lagi tubuhnya jatuh menubruk meja di depannya . Celakanya , tamu meja depan itu memesan semangkok besar bubur ayam yang masih panas dan ketika roboh menelungkup , muka si jaksa masuk ke dalam mangkok besar bubur ayam sehingga berlepotan bubur panas . Dia mengaduh-aduh dan menjerit-jerit seperti babi di sembelih .
Akauw merasa tangannya di pegang orang dan ternyata pemuda remaja itu yang memegang tangannya , “ Hayo cepat , kenapa bengong melulu ? Apa engkau kepingin mati ?” .
“ Kepengin mati ? Tentu saja tidak !”
“ Kalau tidak , hayo cepat ikut aku !” .
Pemuda remaja itu lalu menggandeng tangannya dan menariknya berlari keluar dari kedai minuman itu . “ Nanti dulu “ , Akauw membantah . “ Aku belum membayar harga minumanku “ .
“ Alaa , biarkan pembesar gendut itu yang membayarnya . Hayo cepat kita lari “ .
Akauw membiarkan saja dirinya ditarik dan dibawa lari .
Mereka pergi keluar kota dan memasuki sebuah kuil tua kosong yang berada diluar kota raja . Barulah pemuda remaja itu melepaskan tangannya dan dia terengah-engah , duduk di lantai bersandarkan dinding tua .
Akauw juga ikut duduk di depannya , bersila . “ Eh , sobat cilik , kenapa kau bilang aku tadi kepengin mati ? Apa yang kau maksudkan ? Dan kenapa pula engkau mengajakku lari- lari seperti ini dan bersembunyi di tempat ini ?” .
“ Wah , engkau tidak mengerti , ya ? Kok Tolo benar sih kau ini ? Tubuhmu saja besar akan tetapi engkau bodoh sekali “ .
Heran . Akauw tidak marah bahkan merasa geli . Biarpun dimaki , akan tetapi cara memaki pemuda itu terdengar lucu , karena sikapnya bukan seperti orang yang menghina atau merendahkan , melainkan seperti seorang nenek memarahi cucunya !.
“ Memang aku bodoh . Nah , katakana mengapa ? “.
“ Kau tahu ? Orang gendut tadi seorang jaksa ! Kau tahu apa itu jaksa ?” .
Akauw mengingat-ingat . Setahunya , jaksa itu seorang pembesar yang bekerja di pengadilan . “ Seorang jaksa itu orang yang menuntut seseorang penjahat agar di adili dan di hukum . Seorang jaksa menentang kejahatan “ .
Bersambung ke Jilid 3 bagian ke 13