Bagian 8 - Jatuh ke Tangan Musuh





“Perempuan sial!” bentak Fang Renzhi. Menyadari ilmu silat Nyonya Wang ternyata tidak bisa dianggap remeh, ia pun melolos pedang yang tergantung di pinggangnya. Dalam sekejap saja keduanya sudah terlibat pertarungan seru.

Fang Renzhi dan Yu Renhao.
Sementara itu Lin Zhennan masih berhadapan dengan Yu Renhao. Ia mengangkat pedangnya dan berkata, “Perguruan Qingcheng boleh saja menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Salah atau benar biarlah dunia persilatan yang menentukan. Nah, Pendekar Yu, silakan maju!”
Yu Renhao pun mencabut pedangnya dan berkata, “Silakan menyerang lebih dulu, Ketua Lin!”
Diam-diam Lin Zhennan berpikir, “Konon Jurus Pedang Cemara Angin dari Perguruan Qingcheng merupakan gabungan dari ulet dan ringan; ulet seperti pohon cemara, dan ringan seperti angin. Harapanku untuk menang hanyalah dengan cara mendahului serangan.” Tanpa segan lagi, pedang Lin Zhennan pun bergerak menebas dari samping memainkan jurus Menghalau Kawanan Iblis.
Melihat serangan lawan cukup dahsyat, Yu Renhao mengambil langkah menghindar. Lin Zhennan langsung mengubah serangannya dengan memainkan jurus Zhong Kui Menyolok Mata. Ujung pedangnya bergerak mengincar mata lawan. Ketika Yu Renhao kembali menghindar dengan melompat mundur, serangan ketiga Lin Zhennan sudah memburu pula. Terpaksa Yu Renhao pun menangkisnya dengan keras. Tangan kedua orang itu sama-sama bergetar menahan pedang masing-masing.
Dalam hati Lin Zhennan kembali merenung, “Ternyata ilmu silat Perguruan Qingcheng tidak sehebat dugaanku. Dengan kemampuannya yang seperti ini, mana mungkin ia menguasai Tapak Penghancur Jantung? Aku yakin ada tokoh hebat lainnya yang telah membantai para pegawaiku.”
Yu Renhao membalas serangan dengan menusuk ke arah tujuh titik berbeda di tubuh lawan. Serangan ini begitu cepat bagaikan hujan meteor menghiasi angkasa. Lin Zhennan mundur untuk kemudian melancarkan jurus baru yang tidak kalah cepatnya. Pertarungan antara keduanya berlangsung semakin seru. Setelah dua puluh jurus berlalu belum terlihat pihak mana yang lebih unggul.
Di sisi lain, pertarungan antara Nyonya Wang melawan Fang Renzhi berlangsung tidak seimbang. Golok emas Nyonya Wang tampaknya bukan tandingan pedang laki-laki bertubuh kurus itu. Meskipun demikian, beberapa kali Nyonya Wang berhasil lolos dari ujung senjata lawan. Melihat sang ibu terdesak, Lin Pingzhi segera menerjang ke depan sambil mengayunkan pedangnya. Fang Renzhi berhasil menghindari pedang pemuda itu yang hampir saja mengenai kepalanya.
Dengan penuh kemarahan Lin Pingzhi menyerang Fang Renzhi seperti orang gila. Tiba-tiba ia merasa kakinya tersandung sesuatu. Tanpa ampun, tubuh pemuda itu pun terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh tersungkur dengan muka mencium tanah.
Sesaat kemudian, terdengar suara seorang laki-laki berseru mengancam, “Jangan bergerak!”
Lin Pingzhi tidak dapat melihat ke belakang. Ia hanya merasakan punggungnya telah diinjak seseorang dan suatu benda lancip menempel pula di kulitnya. Sekali benda lancip itu ditekan, tentu akan langsung menembus jantung pemuda itu. Sesaat kemudian Lin Pingzhi juga mendengar ibunya berteriak, “Jangan bunuh anakku! Jangan bunuh anakku!”
Rupanya sewaktu Lin Pingzhi memburu Fang Renzhi tadi, muncul seseorang lainnya yang lantas menjegal kaki pemuda itu dari belakang. Begitu Lin Pingzhi roboh, orang itu langsung menginjak punggungnya dan mengancam dengan sebilah pedang. Nyonya Wang sendiri bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan panik, tahu-tahu Fang Renzhi telah menyerang tulang rusuknya dengan keras menggunakan siku tangan. Disusul kemudian, kaki Fang Renzhi bekerja pula menendang lutut Nyonya Wang sehingga wanita itu jatuh ke tanah.
Orang yang telah menjegal Lin Pingzhi tidak lain adalah si marga Jia yang tempo hari menjadi saksi kematian putra Pendeta Yu Canghai. Nama lengkapnya adalah Jia Renda. Setelah peristiwa di kedai arak itu ia melarikan diri dan bergabung dengan Fang Renzhi dan Yu Renhao.
Tangan Fang Renzhi telah bekerja cepat menotok titik nadi Nyonya Wang dan Lin Pingzhi sehingga ibu dan anak itu tidak mampu bergerak lagi. Dengan tetap menghunus pedang ia pun bergerak mendekati pertarungan Lin Zhennan dan Yu Renhao.
Melihat anak dan istrinya tertangkap, perhatian Lin Zhennan menjadi agak terganggu. Serangannya tidak lagi gencar dan lebih mudah dipatahkan. Yu Renhao merasa senang dan bergelak tawa. Seketika pedangnya pun bergerak melancarkan serangan yang ternyata sangat mengejutkan Lin Zhennan.
“Bagaimana… bagaimana kau bisa memainkan Ilmu Pendang Penakluk Iblis?” seru Lin Zhennan tak percaya.
“Bagaimana menurutmu permainanku ini?” jawab Yu Renhao dengan terus menyerang.
“Dari mana kau... kau mempelajarinya?” sahut Lin Zhennan dengan tergagap-gagap.
“Apa hebatnya jurus pedang seperti ini?” seru Fang Renzhi yang ikut menyerang. “Aku juga bisa memainkannya.” Laki-laki bertubuh kurus itu melancarkan jurus Menghalau Kawanan Iblis, Zhong Kui Menyolok Mata, dan Burung Walet Hinggap di Cabang; yang kesemuanya adalah bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis kebanggan Keluarga Lin.
Lin Zhennan sama sekali tidak menyangka ilmu pedang leluhurnya yang diwariskan turun-temurun ternyata dapat dimainkan orang lain. Pikirannya yang dilanda kebingungan membuat permainan pedangnya semakin lemah dan kacau.
“Kena kau!” bentak Yu Renhao tiba-tiba, sambil pedangnya bergerak menusuk lutut lawan. Lin Zhennan kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh dalam keadaan berlutut di tanah. Walaupun ia dapat bangkit kembali, namun ujung pedang Yu Renhao telah mengancam di depan dadanya.
“Adik Yu, jurus Bintang Jatuh Menghantam Bulan yang kau mainkan benar-benar hebat,” seru Jia Renda memuji. Serangan tersebut juga bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis.
“Kalian... kalian ternyata menguasai Ilmu Pedang Penakluk Iblis,” sahut Lin Zhennan sambil menghela napas. “Bailkah, lekas bunuh kami bertiga secepatnya!” Sambil berkata demikian pedangnya pun jatuh ke tanah. Tiba-tiba ia merasa punggungnya kesemutan dan tubuhnya tak dapat digerakkan lagi. Rupanya Fang Renzhi telah menotoknya dari belakang.
“Tidak semudah itu,” jawab Fang Renzhi. “Kalian bertiga anak-anak bulus, mendapat kehormatan untuk menemui guru kami di Kuil Cemara Angin!”
Jia Renda tidak membuang kesempatan untuk membalas sakit hatinya. Ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi dan mengangkatnya ke atas. Tangannya lalu bergerak menampar pipi pemuda itu dengan sangat keras. “Bajingan cilik! Mulai hari ini sampai nanti di Gunung Qingcheng kau akan kusiksa delapan belas kali sehari. Wajahmu yang cantik ini akan kubuat belang-belang!” bentaknya memaki-maki.
Dengan penuh kebencian, Lin Pingzhi meludahi wajah Jia Renda. Karena jarak mereka sangat dekat, tanpa ampun hidung Jia Renda langsung basah dibuatnya. Dengan sangat gusar, Jia Renda pun membanting tubuh Lin Pingzhi di tanah. Merasa belum puas, kakinya pun mendendang iga pemuda itu sekeras-kerasnya.
“Cukup, cukup!” sahut Fang Renzhi melerai sambil tersenyum lebar. “Kalau kau hajar dia sampai mati, bagaimana kau akan bertanggung jawab di hadapan Guru? Bocah ini cantik seperti perempuan, sudah pasti ia tidak tahan menerima tendanganmu.”
Dibandingkan dengan yang lain, sebenarnya ilmu silat Jia Renda tergolong biasa saja. Ditambah lagi dengan kelakuannya yang buruk membuat ia tidak disukai murid-murid Qingcheng yang lain, kecuali putra bungsu gurunya yang telah meninggal tempo hari. Itulah sebabnya mengapa ia sangat membenci Lin Pingzhi setengah mati. Namun demikian, karena takut terhadap Fang Renzhi dan Yu Renhao, ia hanya balas meludahi wajah Lin Pingzhi beberapa kali.
Mereka bertiga lalu membawa masuk tubuh Lin Zhennan, Nyonya Wang, dan Lin Pingzhi ke dalam kedai kecil tadi. Setelah itu Fang Renzhi berkata, “Sebelum perjalanan pulang sebaiknya kita makan dulu. Adik Jia, coba kau memasak sesuatu untuk kita.”
“Baik!” jawab Jia Renda tanpa membantah dan langsung masuk ke dapur.
Yu Renhao termenung sejenak kemudian berkata, “Kakak Fang, kita harus berhati-hati. Tiga orang ini jangan sampai mendapat kesempatan untuk kabur. Apalagi si tua ini, ilmu silatnya lumayan hebat.”
“Apa susahnya?” jawab Fang Renzhi. “Setelah makan nanti kita putuskan saja urat syaraf tangan dan kaki mereka. Setelah itu, kita tembus tulang pundak mereka menggunakan tali, dan kita ikat mereka menjadi satu seperti kepiting. Dengan demikian, tidak mungkin mereka bisa kabur.”
Kepala Lin Zhennan langsung pening mendengar rencana keji Fang Renzhi. Lin Pingzhi yang tidak sabar segera memaki dengan kasar, “Tidak tahu malu! Bunuh saja kami bertiga daripada kau perlakukan kami dengan cara hina seperti itu! Perbuatan kalian sama seperti bajingan rendah yang kotor dan tercela!”
Fang Renzhi tersenyum menyeringai dan berkata, “Sekali lagi kau bicara tidak sopan, aku segera mencari tahi kerbau atau anjing untuk kujejalkan ke dalam mulutmu itu.”
Ancaman ini ternyata sangat manjur. Lin Pingzhi langsung terdiam menutup mulutnya rapat-rapat. Namun demikian dalam hati ia tetap saja mengutuk laki-laki bertubuh kurus itu.
“Adik Yu,” kata Fang Renzhi selanjutnya, “Guru telah mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis dan kita berhasil memainkannya dengan baik. Kau buat Ketua Lin tidak berdaya menghadapi jurus kebanggaan keluarganya sendiri.” Kemudian ia berpaling kepada Lin Zhennan dan melanjutkan, “Ketua Lin, aku yakin saat ini kau pasti sedang berpikir: dari mana Perguruan Qingcheng memperoleh Ilmu Pedang Penakluk Iblis, bukan begitu?”
Ucapan Fang Renzhi benar-benar sesuai dengan pikiran Lin Zhennan. Majikan Biro Fuwei itu memang sedang merenung, “Dari mana orang-orang Qingcheng busuk ini mempelajari Ilmu Pedang Penakluk Iblis keluarga kami?”
Sementara itu Lin Pingzhi dalam hati berharap memperoleh kekuatan untuk bangkit dan menyerang kedua orang itu sampai tewas. Akan tetapi, karena tubuhnya sedang tertotok, ia sama sekali tidak mampu bergerak apalagi bangkit dan bertarung. Lebih-lebih ketika merenungkan ancaman Fang Renzhi yang mengerikan tadi –yang akan memutus urat syarafnya dan mengikat tubuhnya seperti kepiting– tentu baginya lebih baik mati daripada menderita begitu.
Sungguh tak disangka tiba-tiba terdengar suara Jia Renda menjerit, “Aaaah...! Aaaah...!”
Fang Renzhi dan Yu Renhao segera melompat dan berlari ke dapur sambil menghunus pedang masing-masing. Begitu keduanya pergi, dari pintu depan muncul sesosok bayangan berkelebat memasuki kedai dan langsung mendekati Lin Pingzhi. Orang itu menarik kerah baju Lin Pingzhi dan mengangkat tubuh pemuda itu dengan kedua tangan. Lin Pingzhi sendiri menjerit kaget karena orang yang baru datang ini tidak lain adalah si gadis burik penjual arak di luar Kota Fuzhou tempo hari.
Gadis burik itu membawa tubuh Lin Pingzhi keluar melalui pintu depan menuju pepohonan di mana kuda-kuda ditambatkan. Tubuh pemuda itu segera dinaikkannya ke punggung salah satu kuda. Ketika Lin Pingzhi masih dilanda kebingungan, tahu-tahu si gadis burik sudah memotong tali kendali yang tertambat di pohon, kemudian memukul paha belakang kuda dengan keras. Merasa kesakitan, kuda itu pun berlari kencang membawa tubuh Lin Pingzhi yang terangkut di punggungnya.
“Ayah! Ibu!” teriak Lin Pingzhi dengan perasaan kacau. Karena mengkhawatirkan keadaan kedua orang tuanya serta tidak ingin kabur seorang diri, ia pun menghentak keras sehingga tubuhnya jatuh ke tanah. Setelah terguling-guling beberapa kali, ia akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang cukup lebat. Sementara itu kuda yang telah membawanya terus saja berlari dan masuk ke dalam hutan.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi mencoba bangkit, namun totokan pada tubuhnya belum terbuka sehingga kakinya terasa kaku untuk bergerak. Akibatnya, ia pun kembali terjatuh dan masuk ke dalam semak yang lebih lebat. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit akibat jatuh dari punggung kuda tadi serta terbentur bebatuan hutan.
Samar-samar terdengar suara langkah kaki beberapa orang mendekati tempatnya. Lin Pingzhi pun mendekam di dalam semak tanpa bergerak sedikit pun. Ternyata orang-orang itu sedang terlibat pertempuran. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan melihat dua pihak sedang bertarung seru. Tampak Fang Renzhi dan Yu Renhao di satu pihak melawan si gadis burik dan seorang pria di pihak lain. Pria itu memakai cadar berwarna hitam sehingga wajahnya sulit untuk dikenali. Hanya saja, orang itu terlihat memiliki rambut putih sehingga tanpa ragu lagi Lin Pingzhi langsung yakin kalau dia adalah Kakek Sa, si pemilik kedai arak di luar Kota Fuzhou.
Diam-diam Lin Pingzhi merenung, “Tadinya aku mengira Kakek Sa dan cucu perempuannya adalah anggota Perguruan Qingcheng yang telah membantai para pegawai Biro Fuwei. Tak disangka, mereka justru berusaha menolongku. Oh! Kalau saja aku tahu mereka mahir ilmu silat, tentu tempo hari aku tidak perlu repot-repot berlagak sebagai pahlawan. Huh, kini semuanya sudah terlambat dan malapetaka sudah terjadi.” Sesaat kemudian ia kembali berpikir, “Sebenarnya ini adalah kesempatanku untuk menolong Ayah dan Ibu. Tapi sayang, tubuhku tertotok sehingga tidak bisa bergerak sama sekali.”
Di tengah pertarungan itu terdengar Fang Renzhi berteriak, “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa memainkan ilmu pedang Qingcheng milik kami?”
Kakek Sa tidak menjawab. Ia hanya mengayunkan pedangnya terus menerus. Serangan yang ia lancarkan memang menggunakan ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Fang Renzhi melompat mundur setelah pedang di tangannya terlempar ke udara. Melihat kakak seperguruannya terdesak, Yu Renhao meninggalkan si gadis burik dan bergerak melindungi Fang Renzhi. Namun, Kakek Sa dengan cepat dapat menangkis semua serangan pemuda bertubuh gagah itu.
“Kau! Kau!” seru Yu Renhao tertahan. Suaranya terdengar penuh dengan perasaan kejut bercampur ngeri. Sesaat kemudian pedangnya pun terlempar pula ke udara.
Si gadis burik menerjang ke depan hendak menusukkan pedangnya, namun Kakek Sa sempat mencegah, “Jangan bunuh mereka!”
“Tapi mereka sangat kejam dan banyak membantai orang,” jawab si gadis burik.
“Mari kita pergi!” sahut Kakek Sa. Melihat si gadis burik masih penasaran, ia kembali berkata,”Jangan lupakan perintah Guru!”
“Baiklah, kali ini kuampuni nyawa mereka,” jawab si gadis burik sambil mengangguk. Usai berkata, ia langsung melesat masuk ke dalam hutan, sementara Kakek Sa mengikuti di belakangnya. Sekejap kemudian kedua bayangan mereka sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
Fang Renzhi dan Yu Renhao terdiam sambil berusaha menenangkan diri. Mereka lantas memungut pedang masing-masing yang berserakan di tanah.
“Sungguh tidak masuk akal! Dari mana orang itu bisa memainkan jurus pedang perguruan kita?” tanya Yu Renhao tak percaya.
“Sebenarnya dia hanya mengetahui beberapa jurus saja,” sahut Fang Renzhi. “Namun, ketika memainkan jurus Angsa Terbang ke Angkasa, oh... dia benar-benar sempurna!”
“Mereka berhasil menyelamatkan si bocah Lin,” seru Yu Renhao.
Fang Renzhi tersentak dan berkata, “Jangan-jangan ini semua hanya siasat mereka untuk menjauhkan kita dari suami-istri Lin”
“Sialan!” sahut Yu Renhao geram. Keduanya pun bergegas kembali menuju kedai kecil tadi.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama