Bagian 7 - Jatuh ke Tangan Musuh





Setelah membungkus mayat tersebut dan meletakkannya di sudut ruangan, Lin Zhennan mengajak istri dan anaknya kembali ke kamar tidur. Di sana ia melanjutkan pembicaraannya, “Kali ini aku sudah tidak ragu lagi. Pelaku pembunuhan terhadap para pegawai kita adalah tokoh terkemuka dari Perguruan Qingcheng. Istriku, menurutmu apa yang harus kita perbuat?”

Tiba-tiba Lin Pingzhi menyela, “Sekarang kita sudah tahu siapa musuh kita. Semua ini terjadi akibat ulahku. Besok aku akan datang untuk menantangnya. Jika aku kalah biarlah aku mati di tangan mereka.”

Lin Zhennan menggeleng dan berkata, “Orang ini menguasai Tapak Penghancur Jantung. Dengan jurus ini dia bisa menghancurkan jantung seseorang tanpa harus melukai kulitnya. Tentu dia seorang tokoh terkemuka dalam Perguruan Qingcheng. Jika dia mau, tentu sejak kemarin-kemarin kau sudah mati di tangannya. Aku rasa Perguruan Qingcheng ingin mempermainkan kita secara keji terlebih dulu.”

“Kalau begitu apa tujuannya mempermainkan kita?” sahut Lin Pingzhi bertanya.
“Keparat dari Qingcheng ini memperlakukan kita seperti kucing sedang mempermainkan tikus. Kita dibuat mati pelan-pelan karena takut, dengan demikian barulah dia merasa puas.” jawab Lin Zhennan.

“Berani-beraninya dia memandang rendah terhadap Biro Ekspedisi Fuwei,” sahut Lin Pingzhi kesal. “Mungkin dia takut kepada Ilmu Pedang Penakluk Iblis sehingga tidak berani menghadapi Ayah secara terang-terangan. Jika tidak, kenapa dia hanya berani membunuh dengan sembunyi-sembunyi?”
“Ping’er, Ilmu Pedang Penakluk Iblis milik Ayah memang cukup ampuh untuk menghadapi para penjahat dan perampok jalanan. Namun jika dibandingkan dengan Tapak Penghancur Jantung sudah pasti Ayah kalah jauh,” jawab Lin Zhennan. “Selama ini Ayah tidak pernah takut kepada siapa pun. Tapi setelah melihat jantung Pengawal Huo yang hancur itu, Ayah... Ayah sungguh merasa ngeri.”
Melihat ayahnya sudah menyerah, Lin Pingzhi pun terdiam tidak berani lagi berpendapat. Ibunya ganti berbicara, “Meskipun musuh sangat kuat, kita tidak boleh menyerah begitu saja. Untuk saat ini lebih baik kita menghindar dulu.”
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Lin Zhennan.
“Suamiku, sebaiknya malam ini kita berangkat ke Luoyang meminta bantuan Ayah. Yang penting kita sudah tahu siapa musuh kita sebenarnya. Balas dendam lain kali juga belum terlambat,” lanjut Nyonya Wang.
Lin Zhennan menjawab, “Benar! Ayah Mertua sangat luas pergaulannya. Tentu Beliau bisa memberi saran dan pertimbangan kepada kita. Mari kita berbenah dan berangkat malam ini juga!”
Mendengar ajakan sang ayah, Lin Pingzhi menyahut, “Kalau begitu kita akan meninggalkan para pegawai begitu saja, tanpa pemimpin?”
“Musuh tidak ada urusan dengan mereka. Jika kita sudah pergi, tentu orang dari Qingcheng itu tidak mau buang-buang tenaga hanya untuk membunuh para pegawai yang tidak bersalah,” jawab Lin Zhennan.

Lin Pingzhi terdiam mendengar jawaban ayahnya yang cukup beralasan itu. Ia sadar kalau kematian para pegawai merupakan akibat dari perbuatannya, yaitu membunuh orang Szechwan bermarga Yu. Jika dirinya sudah pergi tentu si pelaku tidak mau repot-repot lagi membunuh yang masih tersisa.
Berpikir demikian, Lin Pingzhi kemudian bergegas menuju kamarnya untuk berbenah. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh. Perjalanan ke Luoyang membuatnya khawatir pihak musuh akan datang dan membakar habis rumah yang ditinggalkan. Maka, ia pun membungkus semua benda kesayangannya termasuk patung kuda dari batu kumala dan lembaran kulit macan tutul hasil perburuannya dahulu. Benda-benda tersebut dijadikan satu dengan pakaian-pakaiannya, sehingga tercipta dua bungkusan yang cukup besar.

Dengan memanggul perbekalan tersebut, Lin Pingzhi kembali ke kamar orang tuanya. Melihat itu Nyonya Wang tertawa geli dan berkata, “Kita ini hendak mengungsi, bukannya pindah rumah. Mengapa kau membawa barang begitu banyak?”

Lin Zhennan hanya menggeleng dan menghela napas panjang. Ia merasa maklum karena sejak kecil Lin Pingzhi hidup mewah dan berkecukupan. Wajar saja jika kali ini putranya itu merasa bingung hendak berbuat apa ketika tiba-tiba harus pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan haru ia pun berkata, “Di rumah Kakek nanti kau tidak akan menderita kekurangan. Yang perlu kita bawa hanya uang dan perhiasan secukupnya. Lagipula kita nanti akan melewati kantor-kantor cabang di Jiangxi, Hunan, dan Hubei. Semakin sedikit barang yang kita bawa akan semakin baik. Dengan demikian kita bisa berjalan lebih cepat.”

Dengan berat hati Lin Pingzhi terpaksa meninggalkan sebagian besar isi bungkusannya itu.
Nyonya Wang ganti mengajukan pertanyaan kepada sang suami, “Kita nanti menunggang kuda secara terang-terangan melewati pintu depan, ataukah sembunyi-sembunyi lewat pintu belakang?”
Lin Zhennan tidak menjawab. Ia hanya merebahkan diri di atas kursi malas sambil menghisap pipa cangklongnya dan memejamkan mata. Selang agak lama, barulah ia membuka mata dan berbicara, “Ping’er, beri tahu semua pegawai supaya ikut berbenah dan mengungsi besok pagi. Sampaikan pula kepada kasir untuk membagi-bagikan uang perusahaan kepada mereka. Bilang saja, kita mengungsi untuk menghindari wabah penyakit menular, dan setelah keadaan aman barulah kita kembali lagi ke sini.”

“Baik, Ayah!” jawab Lin Pingzhi. Ia pun melangkah pergi dengan perasaan bercampur aduk.
Nyonya Wang bingung mendengar ucapan suaminya itu. Ia pun bertanya, “Jadi, kita semua akan meninggalkan perusahaan? Lalu, siapa nanti yang akan bertugas menjaga gedung ini?”

“Tidak ada,” jawab Lin Zhennan. “Rumah ini sudah terkenal sebagai tempat angker, yang dihuni setan jahat pencabut nyawa. Meskipun kita biarkan tanpa penjaga, tidak mungkin ada orang lain yang berani masuk kemari. Lagipula kalau kita pergi, tentu tidak ada pegawai yang sudi berjaga di sini.”
Lin Pingzhi telah mengumumkan perintah ayahnya di hadapan para pegawai. Seketika suasana gedung menjadi ribut dan bergemuruh. Perasaan gembira dan takut bercampur aduk menjadi satu di dalam hati mereka.

Sementara itu Lin Zhennan berkata, “Istriku, besok aku dan Ping’er akan menyamar sebagai pengawal, sedangkan kau sebaiknya menyamar sebagai pelayan. Pagi-pagi sekali kita pergi dari sini. Dalam waktu serentak puluhan orang melaju bersama-sama. Tidak peduli bagaimanapun hebatnya musuh, tentu hanya mampu menyergap satu-dua orang saja dan kesulitan mengejar lebih lanjut.”
“Rencana bagus!” seru Nyonya Wang. Ia lantas keluar kamar dan sejenak kemudian sudah kembali dengan membawa sepasang pakaian pelayan dan dua pasang pakaian pengiring kereta.
Ketika Lin Pingzhi kembali ke kamar, ia segera mengambil pakaian itu dan bersama ayahnya lantas berdandan sebagai dua orang pegawai rendahan. Sementara itu Nyonya Wang juga telah berdandan sebagai kaum pelayan. Selembar saputangan digunakannya sebagai kerudung untuk menutup rambut pula. Lin Pingzhi sebenarnya sangat mual karena baju yang ia pakai menebarkan bau kurang sedap, bekas keringat pegawainya. Namun, pemuda itu merasa tidak mempunyai pilihan lain.
Pagi-pagi sekali Lin Zhennan membuka pintu utama gedungnya dan berkata di hadapan para pegawai, “Saudara-saudaraku, tahun ini kita kurang beruntung. Wabah penyakit menyerang perusahaan kita dan menjatuhkan banyak korban. Kita terpaksa harus menghindar untuk sementara. Jika kalian masih ingin bekerja di Biro Ekspedisi Fuwei, maka pergilah ke cabang Hangzhou atau Jiangxi. Di sana kalian akan diterima dengan baik oleh Pengawal Liu dan Pengawal Yi. Nah, sekarang marilah kita berangkat bersama-sama!”

Berbondong-bondong meninggalkan kantor pusat.
Usai berkata demikian, sejumlah hampir seratus orang pegawainya serentak memacu kuda masing-masing, meninggalkan gedung kantor pusat Biro Ekspedisi Fuwei bersama-sama. Lin Zhennan menutup dan mengunci pintu, lalu memacu kuda pula bersama anak dan istrinya.

Para pegawai tidak lagi takut melewati garis darah. Justru sebaliknya, mereka berpikir akan semakin aman jika secepat-cepatnya pergi menjauhi gedung maut tersebut. Rombongan itu bergerak menuju gerbang kota sebelah utara untuk keluar dari Fuzhou. Rupanya mereka tidak memiliki tujuan yang pasti. Masing-masing hanya mengikuti ke arah mana kuda yang paling depan berlari.

Lin Zhennan sendiri tiba-tiba memberi isyarat kepada istri dan anaknya supaya memperlambat kuda masing-masing, sehingga ketiganya kini berada di urutan paling belakang dalam rombongan. Ketika sampai di sebuah persimpangan, Lin Zhennan mengajak berhenti dan berkata, “Biarlah mereka menuju ke utara, sementara kita berputar kembali ke selatan.”

Bukankah kita hendak ke Luoyang? Mengapa sekarang harus kembali ke selatan?” tanya Nyonya Wang.
“Musuh tentu sudah mengira kalau kita akan pergi ke Luoyang, sehingga mereka pun bersiap-siap menghadang di utara. Untuk itu, sebaiknya kita mengambil jalan memutar lewat selatan. Dengan demikian keparat itu tidak akan memperoleh apa-apa,” jawab Lin Zhennan.
Lin Pingzhi tiba-tiba membuka suara, “Ayah!”
“Ada apa?” tanya Lin Zhennan.

Lin Pingzhi terdiam tidak menjawab, dan sejenak kemudian kembali berkata, “Ayah!”
Nyonya Wang menyahut, “Kau ingin bicara apa, lekas katakan!”
“Lebih baik kita tetap bersama mereka menuju ke utara,” jawab Lin Pingzhi. “Jika kita dihadang musuh, maka aku yang akan menghadapinya. Kematian sekian banyak pegawai kita adalah karena kesalahanku. Jika kita menghindar bagaimana bisa membalas dendam mereka?”
“Tentu saja kita harus membalas sakit hati ini,” sahut Nyonya Wang. “Tapi ilmu silatmu masih kalah jauh dibandingkan mereka; terutama untuk menghadapi Tapak Penghancur Jantung yang mengerikan itu.”

“Memangnya kenapa?” balas Lin Pingzhi. “Lebih baik aku mati seperti Pengawal Huo daripada menghindari tanggung jawab. Paling-paling hanya jantungku ini yang hancur.”

Raut muka Lin Zhennan berubah merah mendengar ucapan putranya itu. Ia pun membentak dengan suara keras, “Jika Keluarga Lin dalam tiga atau empat generasi berikutnya suka bersifat gegabah seperti dirimu, maka Biro Ekspedisi Fuwei akan bangkrut dengan sendirinya tanpa harus menunggu gangguan dari luar.”

Melihat ayahnya marah Lin Pingzhi langsung terdiam. Tanpa banyak bicara ia pun mengikuti kedua orang tuanya bergerak menuju selatan. Begitu meninggalkan Kota Fuzhou, mereka lalu berbelok ke arah barat daya. Setelah menyeberangi Sungai Min, mereka sampai di sebuah kota kecil bernama Nanyu. Ketiganya terus saja berjalan tanpa beristirahat, sampai akhirnya merasa letih juga.

Saat itu matahari telah berada di atas kepala. Di tepi jalan yang sepi, mereka melihat sebuah kedai kecil dan memutuskan untuk makan di situ. Kepada pemilik kedai Lin Zhennan memesan makanan apapun yang tersedia, serta meminta untuk disiapkan secepat mungkin. Si pemilik kedai pun masuk ke dapur namun sampai lama tidak juga muncul kembali.
“Pelayan! Pelayan!” seru Lin Zhennan memanggil-manggil. Akan tetapi, tidak seorang pun yang muncul atau menjawab panggilan tersebut. Nyonya Wang ikut memanggil namun tetap saja tidak terdengar suara jawaban.

Menyadari gelagat yang tidak baik, Nyonya Wang segera menghunus goloknya dan berlari ke dalam. Dilihatnya si pemilik kedai sudah tergeletak tanpa nyawa. Di dekat pintu juga tergeletak mayat seorang wanita, yang tidak lain adalah istri si pemilik kedai. Perlahan Nyonya Wang menyentuh bibir kedua mayat tersebut dan ternyata masih hangat, jelas kematian mereka baru saja terjadi.

Lin Zhennan dan Lin Pingzhi segera melolos pedang masing-masing dan bergerak mengitari kedai kecil itu untuk memeriksa. Kedai ini berdiri di tengah perbukitan dan dekat dengan hutan sehingga keadaannya begitu sunyi. Nyonya Wang kembali bergabung dengan suami dan putranya. Bertiga mereka melihat ke sekeliling namun tidak menemukan tanda-tanda kehadiran seseorang.

Dengan tetap menghunus pedangnya, Lin Zhennan berteriak menantang, “Saudara dari Perguruan Qingcheng, Lin Zhennan berdiri di sini siap menyambut takdir. Silakan keluar untuk bertemu muka!”
Beberapa kali Lin Zhennan mengulangi teriakannya, namun yang terdengar hanyalah gema suaranya sendiri yang terpantul di lembah bukit tersebut. Ketiganya menyadari kalau musuh sedang mengintai di balik persembunyiannya. Dengan perasaan gelisah mereka menanti si pembunuh itu keluar untuk melancarkan serangan.

Sejenak kemudian ganti Lin Pingzhi yang berteriak menantang, “Lin Pingzhi ada di sini! Keluarlah dan bertarung denganku! Aku tahu kalian terlalu pengecut untuk menampakkan diri. Kalian hanya berani main sembunyi-sembunyi seperti maling rendahan.”

Tiba-tiba dari dalam hutan di sebelah kedai terdengar suara gelak tawa seseorang. Sekilas Lin Pingzhi melihat sesosok bayangan berkelebat ke arahnya. Sekejap kemudian di hadapannya sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh gagah. Tanpa pikir lagi ia pun menyerang menggunakan pedang di tangannya. Laki-laki itu bergerak ke samping untuk menghindar. Lin Pingzhi segera mengganti serangan dengan menebaskan pedangnya ke samping. Si laki-laki menyeringai sambil melangkah ke sebelah kiri. Dengan cepat Lin Pingzhi memukul menggunakan tangan kiri, lalu menusukkan pedangnya kembali.

Lin Zhennan dan Nyonya Wang berniat maju untuk membantu putra mereka. Namun, melihat Lin Pingzhi memainkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis dengan tenang dan teratur, keduanya pun menahan diri. Lin Zhennan melihat laki-laki yang bertarung melawan putranya itu tampak memakai baju berwarna ungu dengan pedang tergantung di pinggangnya. Usianya diperkirakan sekitar dua puluh empat tahun, dan wajahnya berulangkali tersenyum menyeringai.

Kesabaran Lin Pingzhi akhirnya goyah juga. Jurus-jurus pedangnya menjadi tidak terarah lagi karena tak kuasa menahan amarah menyaksikan wajah musuhnya yang terus-menerus menghina. Padahal, laki-laki itu masih menghadapinya dengan tangan kosong saja. Tanpa menyerang, ia hanya menghindar ke sana dan kemari.

Setelah melewati dua puluh jurus, orang itu tertawa dingin sambil berkata, “Ternyata Ilmu Pedang Penakluk Iblis hanya begini saja! Sungguh menyedihkan!” Tiba-tiba tangannya menyentil senjata Lin Pingzhi dengan keras.

Seketika Lin Pingzhi merasa tangannya kesemutan dan pedangnya pun terpental jatuh. Menyusul kemudian kaki pria itu menyepak tubuhnya sampai jatuh dan terguling-guling di tanah.
Lin Zhennan dan Nyonya Wang segera melompat maju untuk melindungi putra mereka. Keduanya pun berdiri berdampingan dengan membelakangi tubuh Lin Pingzhi.

Lin Zhennan bertanya, “Siapakah nama Saudara ini? Apakah Saudara berasal dari Perguruan Qingcheng?”
Laki-laki itu menjawab dengan angkuh, “Melihat permainan pedang anakmu yang payah, rasanya kalian tidak pantas mengetahui siapa namaku. Hanya saja, memang benar kalau aku berasal dari Perguruan Qingcheng.”

Lin Zhennan menancapkan pedangnya di atas tanah, kemudian berkata sambil kedua tangan memberi hormat, “Selama ini kami selalu menghormati Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin. Setiap tahun kami selalu mengirimkan bingkisan hadiah kepada Beliau. Untuk tahun ini, Beliau juga membalas kunjungan dengan mengirimkan empat orang murid Qingcheng ke Fuzhou. Namun, entah apa sebabnya Saudara berusaha mempersulit kami?”

Pemuda dari Qingcheng itu tertawa dingin, kemudian menjawab, “Kau benar. Guruku memang telah mengirimkan empat orang muridnya menuju Fuzhou, dan salah satunya adalah aku.”
“Bagus sekali kalau begitu!” seru Lin Zhennan. “Kalau boleh saya tahu, siapakah marga yang mulia dan nama yang harum dari Saudara ini?”

Pemuda itu menunjukkan sikap enggan. Setelah terdiam beberapa saat, ia pun mendengus dan berkata, “Namaku Yu Renhao!”

“Oh!” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. “Ternyata Saudara adalah salah satu dari Ying Xiong Hao Jie, yaitu Empat Jagoan Qingcheng. Aku benar-benar kagum menyaksikan kehebatan Tapak Penghancur Jantung yang Saudara miliki. Luar biasa! Bisa membunuh tanpa mengeluarkan darah korban.” Setelah terdiam sejenak, Lin Zhennan melanjutkan, “Pendekar Yu sudah jauh-jauh datang kemari, seharusnya mendapatkan sambutan yang pantas dari kami. Dalam hal ini Lin Zhennan merasa bersalah dan pantas mendapatkan hukuman.”

Diam-diam Yu Renhao kagum dan bangga karena Lin Zhennan ternyata mengenal dirinya. Namun ia kemudian menjawab dengan sinis, “Mengenai Tapak Penghancur Jantung... eh, putramu yang tampan dan berkepandaian tinggi itulah yang sudah mengadakan penyambutan. Sampai-sampai putra kesayangan guru kami tewas di tangannya.”

Lin Zhennan langsung gemetar mendengar pernyataan Yu Renhao. Keringat dingin pun mengalir di punggungnya. Sejak awal ia sudah menduga kalau si marga Yu yang dibunuh Lin Pingzhi adalah murid Perguruan Qingcheng. Ia berniat meminta bantuan ayah mertuanya yang sangat dihormati di dunia persilatan untuk memintakan maaf secara sopan ke Kuil Cemara Angin. Akan tetapi, ternyata kejadiannya lebih rumit lagi. Pemuda Szechwan yang mati di tangan putranya itu ternyata putra kesayangan Pendeta Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.

Karena masalah sudah seperti ini, maka tiada lagi pilihan untuknya selain bertarung habis-habisan. Dengan tetap berusaha tenang, Lin Zhennan menjawab sambil tertawa, “Ah, lucu sekali! Pendekar Yu benar-benar pandai bercanda!”

“Bercanda bagaimana?” sahut Yu Renhao dengan mata melotot.
“Siapa orangnya di dunia persilatan ini yang belum pernah mendengar kehebatan Pendeta Yu dan betapa ketat peraturan di Perguruan Qingcheng?” sahut Lin Zhennan.

“Padahal, yang dibunuh anakku hanya seorang berandal muda yang telah menggoda anak gadis orang di sebuah kedai arak. Putraku yang berilmu rendah bisa membunuhnya, sehingga dapat dibayangkan betapa rendah ilmu silat bajingan itu. Nah, dengan demikian bagaimana mungkin kalau dia adalah putra kesayangan Pendeta Yu? Pendekar Yu memang pandai bercanda.”

Kata-kata Lin Zhennan sungguh beralasan sehingga Yu Renhao tidak bisa menjawab sama sekali. Pemuda bertubuh gagah itu hanya terdiam tanpa bicara sedikit pun.

Tiba-tiba dari balik hutan kembali terdengar suara seseorang berseru lantang, “Pepatah mengatakan: ‘Dua tangan tentu sulit melawan delapan tangan’. Kejadian di kedai arak yang sebenarnya adalah Tuan Muda Lin telah mengeroyok Adik Yu kami secara licik.”

Sesaat kemudian muncul seorang bertubuh kurus dengan membawa kipas di tangannya. Orang itu melanjutkan, “Andai saja pertarungan tersebut berlangsung secara adil, tentu Adik Yu kami tidak akan tewas. Tuan Muda Lin telah meracuni arak yang diminum Adik Yu. Tidak hanya itu, ia juga menyerang Adik Yu dengan tujuh belas buah senjata rahasia beracun. Anak bulus ini sungguh kejam! Kunjungan persahabatan kami telah disambut dengan cara yang kurang ramah.”
Lin Zhennan bertanya dengan suara datar, “Siapakah nama Saudara yang mulia?”
“Namaku adalah Fang Renzhi,” jawab si orang kurus.

Sementara itu, Lin Pingzhi yang tadi terguling akibat tendangan Yu Renhao telah bangkit kembali dan berdiri di samping ayahnya. Ia menghunus pedangnya dan bersiap melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, ucapan Fang Renzhi benar-benar di luar dugaan. Dengan perasaan sangat gusar ia pun berteriak, “Omong kosong! Dasar kau manusia rendah tak berbudi! Aku sama sekali tidak mengenal Adik Yu-mu itu. Aku juga tidak tahu apakah dia berasal dari Perguruan Qingcheng atau bukan. Apa untungnya aku meracuni bajingan itu?”

“Oh, benar-benar kebohongan busuk!” ujar Fang Renzhi sambil menggelengkan kepala. “Kalau kau mengaku tidak mengenal Adik Yu, lalu untuk apa kau menyiapkan anak buahmu yang berjumlah tiga puluh orang di luar kedai? Adik Yu kami melihatmu menggoda gadis penjual arak tersebut, dan ia memukulmu satu kali sekadar untuk memberimu pelajaran. Sebenarnya Adik Yu bermaksud mengampuni jiwamu. Akan tetapi, kau justru memerintahkan para pengawalmu untuk mengeroyoknya seperti anjing!”

Lin Pingzhi merasa dadanya panas, seolah hendak meledak mendengar ocehan Fang Renzhi. Ia pun membentak, “Bedebah kalian orang-orang Qingcheng! Apakah semua orang Qingcheng adalah penjahat tengik yang suka berkata bohong?”

“Anak bulus, kau berani memaki kami, hah?” sahut Fang Renzhi sambil menyeringai.
“Ya, kau mau apa?” teriak Lin Pingzhi gusar.
“Silakan saja kau lanjutkan makianmu itu. Tidak masalah bagiku,” ujar Fang Renzhi sambil mengangguk.

Lin Pingzhi memalingkan muka dengan perasaan heran. Tiba-tiba ia merasakan hembusan angin datang menyambar dan tahu-tahu Fang Renzhi sudah berkelebat ke arahnya. Tanpa pikir lagi, Lin Pingzhi pun menghantam orang kurus itu namun pihak lawan bekerja lebih cepat. Telapak tangan Fang Renzhi lebih dulu menampar pipi pemuda itu satu kali. Lin Pingzhi merasa kesakitan luar biasa. Matanya berkunang-kunang dan hampir saja ia jatuh pingsan.

Dalam waktu singkat Fang Renzhi sudah kembali ke tempat semula sambil meraba-raba pipinya dan berkata, “Anak bulus, kenapa kau memukul wajahku? Sakit sekali ini! Hahaha...”

Melihat putranya dihina, Nyonya Wang segera mengayunkan goloknya disertai jurus Api Liar Membakar Langit ke arah Fang Renzhi. Serangan ini sungguh dahsyat dan tidak terduga sebelumnya. Namun Fang Renzhi sempat berkelit ke samping. Apabila ia terlambat sedetik saja, tentu lengan kanannya sudah buntung tertebas golok Nyonya Wang.

“Perempuan sial!” bentak Fang Renzhi. Menyadari ilmu silat Nyonya Wang ternyata tidak bisa dianggap remeh, ia pun melolos pedang yang tergantung di pinggangnya. Dalam sekejap saja keduanya sudah terlibat pertarungan seru.


Lanjut Bagian 8

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama