Api Di Bukit Manoreh (2)


lanjutan dari bagian (1)
Api Do Bukit Manoreh Jilid 1 Seri 1

Orang yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah ia tertawa lirih, namun suaranya menghentak-hentak dada.

Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti batu karang.

“Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu.

Untara mencoba mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah maju.

“Ha,” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara, “dua anak yang berani. Siapakah namamu?”

“Aku anak Sadipa” Untara mengulangi.

Kembali orang itu tertawa, “Jangan berbohong!” katanya. “Anak Sadipa yang tinggi besar, berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak segagah kalian. Aku kenal mereka. Aku orang Sendang Gabus.”

Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri di hadapannya itu orang Sendang Gabus?

“Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.

“Tebak siapa aku?” orang itu berkata sambil tertawa.

Kembali Untara diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus.

“Aku ingat!” tiba-tiba Untara menyahut, “kau Pande Besi Sendang Gabus.”

Orang itu mengangkat alisnya, katanya “Kau kenal aku?”

“Ya, kau adalah salah seorang prajurit Jipang” sambung Untara. Namun dengan demikian Untara menjadi semakin berdebar-debar. Pande Besi itu kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan orang itu telah melupakannya.

Tetapi ternyata Untara tidak beruntung. Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk mengenal wajah Untara baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya disertai derail tawanya “ Ha! Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.”

Orang itu berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak, “Setan! Bukankah kau yang bernama Untara. He?”

Untara tidak dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. Namun meskipun demikian ia menjawab, “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?”

“Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak Pande Besi itu.

“Hem” Untara menarik nafas. “apakah bedanya? Kau berada di pihak Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di pihak Pajang dengan keyakinanku.”

“Huh!” sahut orang itu, “Kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu burung di sawah.”

“Yang penting bagiku, apakah yang telah dilakukan dan akan dilakukan bagi tanah kita ini” sahut Untara.

“Aku bukan tukang bicara seperti kau!” bentak orang itu. “Wahyu keraton tidak dapat hadir pada sembarang orang. Tidak akan dapat hadir dalam diri penggembala seperti anak Tingkir itu.”

“Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara.

“Persetan. Namun cita-citanya tetap hidup” jawab Pande Besi itu.

Untara tersenyum. Katanya, “Tahukah kau tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari Sendang Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada Demang Sendang Gabus?”

“Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus mati. Kau pula harus mati” gertak Pande Besi itu.

“Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara.

Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab, “Ya, aku akan membunuhmu. Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.”

“Hem,” Untara menarik nafas, “kenapa golongan? Paman Pande Besi,” sambung Untara, “Paman bisa mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan itu. Orang-orang Pajang bukan pendendam.”

“Persetan!“ Tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari dalam belukar.

Terdengar Untara menggeram, “Empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya. Adiknya masih menggigil ketakutan. Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali tak terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta. Kalau ia singgah sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya di sana. Namun apakah pamannya sedang di rumah juga belum pasti.

Tiga orang yang datang kemudian itupun kini telah berada di samping si Pande Besi. Yang seorang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang seorang lagi tinggi gagah, sedang yang seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya.

“Untara,” berkata si Pande Besi, “sayang kami tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama sekali tidak bermaksud menangkap kalian.”

Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande Besi itu akan berkata, “Kalian berdua akan kami bunuh.”

Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. Tetapi bagaimana dengan adiknya?

Tiba-tiba Untara berkata lantangm “Sedayu, menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau tidak perlu ikut serta. Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”

Si Pande Besi menggeram, “Jangan terlalu sombong.”

Untara sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah bahwa keempat orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu. Menggigil ketakuatan dengan dada sesak.

Pande Besi Sendang Gabus bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba memencar. Di tangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Pande Besi itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung kurus memegang golok pendek, yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya, sedang si anak muda memegang pedang.

“Anak ini bernama Untara,” teriak si Pande Besi “karena itu berhati-hatilah.”

“Untara” desis si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun didalam dadanya terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara. Betapa kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian ia harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat membunuh orang yang disegani itu.

Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka. Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau ada di antara mereka yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada padanya.

Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian dari keempat lawannya, sehingga tak ada di antaranya yang mengganggu Agung Sedayu.

Maka dengan gerak yang cepat, secepat tatit menyambar dilangit, Untara meloncat menyerbu di antara mereka. Dengan berputar di atas sebuah kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus. Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu maka si jangkung dengan sangat terkejut meloncat mundur, dan si tinggi gagah, terpaksa meloncat ke samping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan Untara, namun serangan itu benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi debar jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara melayang dnegan garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. Tangannya yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah di tangannya.

“Setan, demit, tetekan!” Pande Besi dari Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya. Sedang kawannya melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar anak ayam yang sama sekali tak berdaya.

Tetapi Pande Besi itu segera sadar. Segera ia meloncat pada si tinggi besar, “Berikan aku sebuah pisaumu!” teriaknya. Si Pande Besi tidak menunggu jawaban. Segera direbutnya sebuah pisau kawannya itu.

Sementara itu, kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda-beda. Untara menarik nafas. Ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran pertempuran. Karena itu Untara tidak menyia-nyiakan waktu. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung sebelum subuh.

Pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit. Pande Besi dari Sendang Gabus itupun ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan getaran yang mengerikan. Orang yang tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya yang panjang setiap kali terjulur mengulurkan angin maut. Sedang di ujung tangannya itu tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar itupun mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali sengaja dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara.

Namun Untara bukan anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah memaksa lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan orang yang tinggi besar itupun kemudian tidak berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya terlampau pendek. Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali. Sekali-sekali ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya sulit, cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang terjun ke dalam api.

Demikianlah Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah menolongnya. Ia tidak perlu takut- takut senjatanya akan mengenai kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan yang ada di setiap garis serangannya. Teteapi lawannya tidak dapat berbuat demikian. Mereka harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah seperti anak kijang. Sekali-sekali ia melontar di antara mereka berempat, namun tiba-tiba ia telah berada di luar lingkaran. Bahkan sekali-sekali lawannya menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri di antara percikan-percikan hujan yang hampir reda.

Agung Sedayu melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali berdentang seperti guntur di dalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti bergerak. Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia melihat juga anak muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah keheranan di dalam dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun demikian, ia menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat orang sekaligus. Ia belum pernah melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkelahian untuk mempertaruhkan nyawa. Yang pernah dilihatnya adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk melakukannya.

Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya semakin lama semakin menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-sekali melemparkan pandangannya pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang licik itu berpikir di dalam hatinya, “Anak yang satu ini aneh benar.”

Memang Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, bahkan terpancarlah kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian Pande Besi itu terpaksa menduga-duga, “Ada dua kemungkinan,” pikir Pande Besi, “anak ini terlalu percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut.”

Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara, “Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”

Tetapi tiba-tiba Pande Besi itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah mendapatkan suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil. Kerana itu ia segera menemukan cara untuk memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata di antara derai tawanya, “He, Untara yang perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya menonton saja seperti sabungan ayam.”

Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya benar-benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia menjawab, “Buat apa ia susah-susah menghadapi kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan.”

Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara benar-benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa Pande Besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri.

Namun untunglah ia sempat merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda menyerang lambung Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia meloncat tiba-tiba tongkat besinya telah terayun ke dada si tinggi besar.

Serangan ini terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa mengakhiri perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang yang tinggi kurus sempat memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun kekuatannya sama sekali tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat goloknya seperti terbang terlempar.

Pande Besi, yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang bakal datang. Mereka berempat dengan senjata di tangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara seorang diri. Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi.

Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan rencana liciknya. Dengan tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata, “Bunuhlah Untara itu dengan senjata-senjata kalian, aku akan mencoba kesaktian anak muda yang seorang lagi.”

Untara terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar menjadi terpecah. Ia melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah perutnya, sementara itu orang yang tinggi besar menusuknya dari punggung.

Namun Untara adalah seorang prajurut Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia menggeser tubuhnya sambil merendahkann dirinya, pedang si anak muda hanya lewat secengkal dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh. Namun karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si Pande Besi telah berlari ke arah Agung Sedayu.

Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka darahnya serasa benar-benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu kerisnya. Namun tangan itu gemetar dan kehilangan kekuatannya. Maka kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar suaranya terbata-bata, “Kakang, Kakang Untara.”

Pande Besi yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil berlari, “Tahanlah Untara. Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.”

Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu maka ia akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku ketakutan.

Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar kudanya yang berdiri di samping adiknya. Kuda itu menjadi terkejut. Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun melontar seperti panah.

Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si Pande Besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara.

Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya yang lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat besinya.

Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah menggunakannya dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah terayun diatas kepalanya. Karena itu si Pande Besi hampir saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya.

Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seorang tamtama yang sedang dibakar oleh kemarahan.

Karena itu meskipun si Pande Besi mancoba untuk menghindar benturan langsung dengan memukul tongkat Untara ke samping, namun usahanya itu tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih mengenai pelipisnya. Maka terdengarlah Pande Besi yang malang itu berteriak tinggi. Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun terputuslah.

Untara menarik nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi karena ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan kewaspadaan.

Anak muda yang bersenjata pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja serangannya mengarah ke punggung. Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping. Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pisau. Dengan penuh nafsu dendam orang itu menusuk leher Untara.

Tusukan itupun sedemikian tiba-tiba pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda. Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba merendahkan tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun berubah arah. Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau itu mencegat pundak kirinya.

Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar membakar seluruh darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat. Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju. Tongkat besi ditangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan dasyatnya menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka dipundaknya itu. Darah yang merah segar mengalir semakin lama semakin deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya sekaligus.

Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara yang membadai. Cepat ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. Dalam keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil kedepan. Goloknya yang besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat mengarah ke lambung lawannya. Namun Untara yang marah sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya. Dan sekaligus tongkatnya bergerak mendatar.

Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar sebuah benturan. Benturan antara tongkat besi di tangan Untara dengan tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian terdengar tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena kecepatan bergerak lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat berdiri tegak, orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya ke arah tubuh lawannya.

Untunglah Untara melihat pisau itu, karena itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam tubuhnya.

Bersambung Bagian 3

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama